Sabtu, 09 April 2011

TRANSMISI FILSAFAT YUNANI
KE DUNIA ISLAM
A. Pendahuluan
            Transmisi filsafat Yunani ke dunia Islam memberikan kontribusi yang sangat esensial bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran di kalangan kaum muslimin. Pembahasan tentang permasalahan keislaman tidak hanya ditinjau dari konteks nash semata, namun telah mengacu pada penggunaan pikiran yang lebih sistematis, sehingga ajaran Islam dapat diterima dari sudut keilmuan. Selain itu transmisi filsafat Yunani ke dunia Islam dijadikan sebagai jembatan penghubung antara pemikiran Eropa dan Islam.

B. Filsafat Yunani sebelum Islam
Filsafat Yunani sebelum Islam mengalami dua fase perkembangan yaitu:
  1. Fase Helenisme
  2. Fase Helenisme Romawi (Helenistis).[1]
Yang dimaksud dengan ajaran Helenisme adalah ajaran yang hanya dimiliki oleh orang Yunani yaitu sejak abad ke VI atau sampai akhir abad IV SM. Diantara aliran-aliran yang berkembang pada masa ini yaitu:
  1. Aliran Tabi’ (Natural Philosophy) dengan Demokritus sebagai tokohnya.
  2. Aliran Ketuhanan yang diwakili oleh aliran Elea dan Soctates
  3. Aliran Mistis dan Matematis dengan Phytagoras sebagai tokohnya
  4. Aliran Parepatik yang menekankan pada aspek epistemologi, etika, aksiologi dan kemanusiaan. Aliran ini diwakili oleh Socrates, Plato dan Aristoteles.[2]
Fase Helenisme Romawi yaitu zaman setelah Aristoteles (322 SM) dimulai dengan pemerintahan Alexander Agung (356 – 326 SM). Pada fase ini filsafat Yunani tidak hanya berkembang di Yunani dan oleh orang Yunani sendiri, tetapi telah meluas sebagai warisan Yunani, yang dikembangkan oleh orang-orang Romawi, Persia, Mesir.
Helenisme Romawi dapat dibedakan pada tiga masa perkembangan yaitu:
1.      Masa pertama yaitu abad V sampai dengan abad 1 SM. Pada masa ini dikenal beberapa aliran yaitu:
a)       Aliran Epicure dengan tokohnya Epicurus
b)      Aliran Ston dengan tokohnya Zeno
c)       Aliran Skeptis yang meliputi aliran Phyro
2.      Masa Kedua yaitu dari pertengahan abad I SM hingga pertengahan abad III M. Aliran pada masa ini adalah:
a)                 Aliran Parepatik
b)                aAiran Stoa Baru
c)                 Aliran Epicure Baru
d)                Aliran Phytagoras
3.      Masa Ketiga yaitu dari abad ke III M sampai dengan pertengahan abad VI M di Romawi Barat hingga abad VII di Byzantium. Aliran pada masa ini adalah:
a)      Aliran Neo Platonisme
b)      Aliran Iskandariyah
c)      Aliran filsafat di Asia Kecil.[3]

Yang tiga ini merupakan kegiatan terakhir menjelang timbulnya filsafat Islam. Diantara aliran-aliran tersebut yang paling dominan memengaruhi filsafat Islam adalah aliran Neo Platonisme.
C. Perkenalan Islam terhadap Filsafat Yunani
            Alexander Agung mengalahkan kerajaan Persia yang dipimpin oleh Darius pada tahun 311 SM. Penguasaan Alexander atas Persia tidak menghancurkan peradaban dan kebudayaan Persia, namun sebaliknya berusaha untuk menyatukan kebudayaan Persia dan Yunani. Setelah Alexander wafat, kerajaan Yunani terpecah menjadi kerajan-kerajaan kecil yaitu Macedonia di Eropa, kerajaan Ptolomeus di Mesir dengan Alexandria sebagai ibu kotanya dan kerajaan Seleucus di Asia dengan kota-kota penting seperti Antioch di Siria, Seleucia di Mesopotamia dan Bactra di Persi. Pada abad VII Masehi perluasan wilayah Islam berlangsung secara drastis memasuki Mesir, Syiria, Mesopotamia (Irak), dan Persia (Iran). Pada masa perluasan inilah dimulai kontak antara Islam dan Filsafat Yunani, karena filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani telah masuk pada daerah-daerah tersebut bersamaan dengan penaklukan yang dilakukan oleh Alexander Agung mulai dari daerah kawasan Asia dan Afrika Utara. Antioch dan Bactra menjadi pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Di abad III Masehi  kota-kota pusat ilmu pengetahuan dan filsafat bertambah diantaranya kota Jundishapur, yang letaknya dekat dengan Baghdad.[4]
            Pada awal perkembangan Islam, sebenarnya kaum muslimin tidak bermaksud untuk mengikuti pemikiran Yunani, kalaupun kemudian ada sebagian ilmu tersebut yang tertransmisi ke dalam Islam, semata-mata keharusan yang tidak dapat dihindari karena semakian eratnya pergaulan antara Islam dengan bangsa-bangsa disekitarnya dalam ruang lingkup yang sempit. Hubungan itu telah ada sejak masa zaman Jahiliyah. Namun pemikiran yang diperoleh kaum muslimin saat itu belum menguasai semua cabang kelilmuan secara ilmiah. Untuk memperdalamnya dibutuhkan bahasa Suryani yang tersebut di Jundishapur. Jundisaphur merupakan penghubung antara filsafat Yunani dan Arab, karena kota Baghdad dijadikan sebagai ibu kota kekhalifahan Abbasiyah dan letaknya jauh dari Jundishapur, maka posisi Jundishapur sebagai pusat ilmu pengetahuan dan filsafat beralih ke Baghdad.[5]
            Menurut Oliver Leaman, pemikiran filsafat dikalangan Islam, pertama kali muncul pada abad ke 3 Hijriyah (8 Masehi) di bawah pemerintahan Abbasiyah. Abbasiyah memiliki kekuatan yang terkonsolidasi atas bantuan golongan Syi’ah Persia yakni Mawalli yang telah memiliki kebudayaan tinggi. Sejak pemerintahan Umayyah, wilayah kerajaan mencakup seluruh daerah yang pemikiran Yunani tersebar luas dengan pengecualian Eropa, yang pada saat itu berada pada kekuasaan Byzantium. Dibawah pemerintahan Abbasiyah, tidak hanya Syiria dan Mesir yang masuk ke dalam wilayah kekuasaannya, tetapi juga Persia dan seluruh wilayah yang sepanjang sejarahnya sudah berada di bawah pengaruh kebudayaan dan kelimuan Yunani.[6]



D. Kontroversi antara Filsafat Islam dan Filsafat Arab
            Menurut Oemar Husein bahwa  perkataan filsafat bukan bahasa Arab. Orang Arab tidak mengenal filsafat meskipun mereka memiliki hikmah dan hukama (kebijaksanaan dan kebijaksanawan).[7] Secara etimologis  kata filsafat dan filsuf berasal dari bahasa Yunani “Philosophia dan philosophos”. Seorang philosophos adalah orang pecinta kebijaksanaan, ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama filsuf (philosophos) pertama kalinya digunakan oleh Phytagoras pada abad ke 6 SM.[8] Filsafat menurut R. Beerling adalah pemikiran-pemikiran yang bebas, diilhami oleh rasio mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman.[9]
            Sedangkan filsafat Islam menurut Ahmad Fuad al-Ahwani merupakan pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan berbagai macam masalah manusia atas dasar ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.[10]
            Dalam pembahasan filsafat Islam terdapat kontroversi dalam penamaan disiplin ilmu ini. Sebahagian pendapat menyatakan sebagai filsafat Islam dan sebagian lainnya menyatakan sebagai filsafat Arab. Yang memberi nama filsfat Arab pada pokonya mengajukan alasan:
  1. Predikat Arab diberikan kepada ilmu ini karena bahasa yang dipergunakan dalam pengungkapannya adalah bahasa Arab. Maurice de Wulf sebagai pendukung pendapat ini menyatakan bahwa istilah Islam tidak relevan menjadi ciri ilmu ini, karena penamaan dengan filsafat Islam berarti mengharuskan orang menelaah buku-buku selain berbahasa Arab seperti misalnya bahasa Urdu, dan Persia. Sedangkan karya yang diteliti tersebut bertuliskan bahasa Arab, tanpa memperhatikan agama penulisnya.
  2. Dengan memberikan penamaan Islam pada ilmu ini, berarti menghilangkan sejumlah tokoh pemikir dan penerjemah yang bukan beragama Islam, yang tidak sedikit jasanya dalam membangun dan mengembangkan disiplin ilmu ini, tetapi masih dalam rumpun bahasa Arab, seperti agama Nasrani, Yahudi dan sebagainya.
  3. Sejarah Arab lebih tua daripada sejarah Islam. Islam lahir dikalangan bangsa Arab, disebarluaskan oleh bangsa Arab, maka seluruh kebudayaan yang berada dibawah pengaruh sejarah bangsa ini haruslah diberikan predikat Arab, termasuk filsafatnya.[11]

Sedangkan alasan penamaan disiplin ilmu ini dengan filsafat Islam adalah:
1.       Para filsuf yang tercatat memberikan sumbangan pengetahuannya kepada perkembangan ilmu ini sendiri menamakannya dengan filsafat Islam filsuf tersebut antara lain al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Rusyd.
2.       Bahwa Islam bukan sekedar nama agama tetapi juga mengandung unsur kebudayaan dan peradaban. Sejak lahirnya, Islam telah merupakan kekuatan politik yang telah berhasil menyatukan berbagai suku bangsa menjadi satu umat dalam kekhalifahan Islam. Memberikan predikat Arab berarti harus dikeluarkan para filsuf yang bukan bangsa Arab, padahal jumlah mereka lebih banyak antara lain Ibnu Sina, al-Ghazali, dan Ibn Khaldun. Jadi dengan predikat Islam akan lebih umum dibanding Arab, sehingga keseluruhan tokoh-tokoh dimaksud tercakup didalamnya.
3.       Filsafat Islam tidak mungkin terbina tanpa Daulah Islamiyah dan persoalan yang dibahas juga persoalan agama Islam, maka adalah tepat menamakannya filsafat Islam.[12]

Diantara penulis-penulis yang menamakan filsfat Arab ialah Maurice de Wulf dalam bukunya Histoire De La Philosophie Medieval, dan Emile Breiher dalam bukunya Histoire De La Philosophie. Sedangkan yang penulis-penulis yang mempergunakan nama filsafat Islam yaitu Max Horten dalam bukunya Encyclopedia Islam, De Boer dalam bukunya The History of Philosophy, dan Gautier dalam bukunya Introduction A’l’etudeDe La Philosophie Musulmane.
E. Penerjemahan Karya-karya Filsuf Yunani
            Sebab-sebab diadakannya penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab yaitu:
  1. Banyak perdebatan mengenai soal-soal agama yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang  Yahudi dan Masehi. Untuk menghadapi perdebatan tersebut mereka memerlukan filsafat Yunani agar dalil-dalil dan pengurutan ulasan bisa disusun dengan baik, sehingga mengimbangi lawannya yang terkenal memakai ilmu-limu Yunani.
  2. Banyaknya kepercayaan dan dan pikiran-pikiran Iran (Persia) yang masuk pada kaum muslimin. Orang Iran dalam menguatkan kepercayaan memakai ilmu berpikir yang didasarkan oleh filsafat Yunani.[13]

Kegiatan penterjemahan buku-buku, berjalan melalui tiga  periode, yaitu:
1. Periode pertama, terjadi pada masa khalifah al-Mansur sampai dengan penghujung masa kekhalifahan Harun al-Rasyid pada abad 8 Masehi. Penterjemah yang termashur di zamannya ialah Ibn al –Muqaffa, Jarjis bin Jabril, Yuhana bin Masaweah dan lain-lain. Pada masa Harun al-Rasyid, khalifah mengumpulkan penerjemah untuk menterjemahkan berbagai ilmu pengetahuan. Bahkan khalifah telah membentuk suatu tim untuk mengumpulkan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani dan menerjemahkannya ke bahasa Arab.
2. Periode kedua, terjadi pada masa Khalifah al-Makmun bin Harun al-Rasyid. Al-Makmun mendirikan institut untuk para penerjemah, yang disebut Baitul Hikmah di Baghdad. Fungsi institut itu adalah untuk mengumpulkan dan menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab. Sebagai pimpinan institusi tersebut, diangkat Hunaya bin Ishak terjemahannya Galen (Jalinus ath-Thabib). Ishak bin Hunaya menerjemahkan buku-buku Hipocrates.[14] Sebab penerjemahan buku filsafat Yunani adalah karena kecenderungan al-Makmun pada ilmu, yaitu:
a.       Kecenderungan al-Makmun kepada pemikiran aliran Mu’tazilah yang mendorongnya untuk menguatkan dan membela pendirian mereka dalam persoalan Alquran dengan alasan-alasan pikiran.
b.       Karena persoalan tentang Alquran sebagai Kalimatullah menyangkut tentang sifat-sifat Tuhan, sehingga timbul asumsi pada diri al-Makmun bahwa dalam filsafat Yunani ada hal-hal yang memberikan kekuatan berhujjah dalam menghadapi lawannya karena filsafat Ketuhanan Yunani juga membicarakan tentang sifat-sifat Tuhan.
c.       Kecenderungan al-Makmun terhadap kebebasan berpikir dan i’tikadnya yang baik terhadap para filsuf, yaitu sebagai manusia pilihan, yang harus diambil hasil pemikirannya.
3. Periode Ketiga ialah periode zaman terakhir, zaman penerjemahan besar-besaran ke dalam dunia Islam, terjadi sekitar abad 10 M. Penerjemah yang termashur pada masa ini adalah Abu Bisrt Matta bin Yunus al-Qanani (940 M), Yahya bin Adl al-Mantiq (974 M).[15]

Keberhasilan transimisi filsafat Yunani ke dunia Islam tidak hanya semata-mata karena penerjemahan buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani tetapi juga penempaan akal dalam lebaga pendidikan, yang berupa:
1.      Masjid
2.      Universitas
3.      Perpustakaan.[16]
Melalui penerjemahan buku-buku filsafat Yunani dan pendirian berbagai institusi yang memediasinya, maka dalam jangka waktu yang relatif singkat kaum muslim telah menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Namun sangat disayangkan bahwa filsafat Islam, setelah abad ke VI H, diduga oleh sementara orang lebih bersifat pengulangan masalah yang sama tanpa diperkuat dengan dasar dan temuan keilmuan, terutama ilmu pasti dan ilmu alam, sehingga terputus hubungan antara filsafat dan sains. Akibatnya filsafat menjadi kaku. Namun pada saat dirasakan bukan antara filsafat dengan sains tetapi antara filsafat dan agama. Inilah salah satu penyebab yang menjadikan filsafat Islam berubah menjadi filsafat yang gersang, yang akhirnya tinggal agama tanpa disertai oleh filsafat.[17]

F. Pengaruh Filsafat di Dunia Islam pada Peradaban Barat
            Peradaban umat Islam dibidang ilmu pengetahuan dan filsafat memberikan peranan yang sangat signifikan bagi kemajuan peradaban dan kebudayaan Barat. Berbagai bidang keilmuan yang tidak dikenal sebelumnya banyak dipresentasikan umat Islam ke dunia Barat. Dunia Barat memulai kontak dengan peradaban umat Islam pada saat wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam telah meluas sampai ke Andalusia, yang selanjutnya diperluas sampai ke berbagai negara di Eropa seperti Yugoslavia dan lainnya. Pemikiran dunia Barat  banyak dipengaruhi oleh pemikiran dari Ibn Rusyd. Peranan peradaban Islam di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat bagi kemajuan Barat, telah diakui oleh para ilmuan dan orientalis. Shaade seperti  yang dikutip oleh Anwar Jundi mengatakan bahwa seandainya kaum muslimin dan Arab tidak muncul dalam gelanggang sejarah, niscaya akan terlambatlah kebangkitan peradaban Eropa beberapa abad dan perlu dicatat pula bahwa sampai akhir abad ke 18 karya-karya Ibn Sina masih diperbincangkan di universitas Paris.[18]
            Bernard Lewis mengemukanan bahwa Eropa mempunyai  beban hutang kepada kaum muslim dan Arab, mereka telah memelihara warisan pemikiran ilmiah dengan mempergunakan akal yang telah ditinggalkan oleh peradaban Yunani dan kaum muslim telah memperluas ilmu ini dan dari kaum muslim dan Arab, Eropa belajar cara baru dalam riset ilmiah dengan mempergunakan akal menjadi syarat utama kemudian melanjutkannya denga pembahasan yang mandiri dan percobaan eksperimen.[19]

G. Penutup
            Kontak Islam dengan filsafat Yunani dimulai pada saat kekhalifahan Islam melakukan invasi ke daerah-daerah yang menjadi sumber filsafat Yunani. Manifestasi dari transmisi filsafat Yunani pada Islam dapat dilihat melalui penerjemahan yang telah dilakukan dan pendirian lembaga-lembaga yang mengkaji filsafat Yunani. Eksistensi filsafat Yunani diterima di kalangan Islam karena filsafat dan pengetahuan Yunani sangat dibutuhkan dalam kehidupan dan kemajuan peradaban Islam.
            Guna mereduksi filsafat Yunani ke dalam Islam, maka harus diperlukan pemaduan antara filsafat dan agama. Filsafat Islam sendiri sangat berkaitan erat dengan ilmu keislaman lainnya. Pada akhirnya Islam dengan kemajuan peradabannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjembatani antara peradaban Yunani dengan kemajuan peradaban.




DAFTAR PUSTAKA

Fuad al-Ahwani, Ahmad 1991, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta.

Ahmad Hanafi, 1991, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Jundi, Anwar, 1991, Kerancuan-Kerancuan Dalam Pemikiran Islam, terjemahan Toha Anwar, Kalam Mulia, Jakarta, 1991.

Gerard Beekman, 1984, Filsafat Para Filsuf Berfilsafat, Erlangga, Jakarta.

Hamzah Ya’qub, 1989, Filsafat Ketuhanan, AlMa’arif, Jakarta.

Harun Nasution, 1995, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Ke-9.

Hasyimsyah Nasution, 1998, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta.

K. Bertens, 1995, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Jakarta.

Oliver Leaman, 1989, Pengantar Filsafat, Rajawali Press, Jakarta.

Yunasril Ali, 1994, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta.


[1]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hal. 27.
[2]Ibid., hal. 28.
[3]K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Jakarta, 1995, hal. 45.
[4]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Ke-9, 1995, hal. 10.
[5]Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, hal. 35.
[6]Oliver Leaman, Pengantar Filsafat, Rajawali Press, Jakarta, 1989, hal. 5.
[7]Hamzah Ya’qub, Filsafat Ketuhanan, AlMa’arif, Jakarta, 1989, hal. 14.
[8]K. Bertens, Loc.Cit.
[9]Gerard Beekman, Filsafat Para Filsuf Berfilsafat, Erlangga, Jakarta, 1984, hal. 76.
[10]Ahmad Fuad al-Ahwani, Op.Cit., hal. 7.
[11]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1998, hal. 3.
[12]Ibid.
[13]Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 42.
[14]Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hal. 10.
[15]Ahmad Hanafi, Loc.Cit.
[16]Yunasril Ali, Op.Cit., hal. 11.
[17]Ahmad Fuad al-Ahwani, Loc.Cit.
[18]Anwar Jundi, Kerancuan-Kerancuan Dalam Pemikiran Islam, terjemahan Toha Anwar, Kalam Mulia, Jakarta, 1991, hal. 10.
[19]Ibid.
TAKLIK TALAK DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KEDUDUKAN WANITA DALAM RUMAH TANGGA

A. Pendahuluan
             Dalam Pendahuluan Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas putusan pengadilan.
            Putusnya perkawinan karena perceraian, di Indonesia pada umumnya mengunakan lembaga taklik talak (cerai talak). Namun tidak sedikit pula yang putus karena putusan pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran taklik talak. Lembaga taklik talak di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu. Kenyataan yang ada sampai saat ini pun menunjukkan hampir setiap perkawinan di Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan sighat ta’lik thalak oleh suami. Sekalipun sifatnya suka rela, namun di negara ini, membaca taklik talak seolah-olah menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami.
            Sighat ta’lik dirumuskan sedemikian rupa, dengan tujuan untuk melindungi pihak isteri supaya tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak suami. Jika isteri tidak ridha atas perlakuan suami, maka isteri dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudkan syarat ta’lik sebagaimana disebutkan di dalam sighat ta’lik.
            Eksistensi taklik talak ternyata banyak melahirkan kontoversi, baik di kalangan fuqaha maupun para pengamat hukum Islam. Dalam pada itu, permasalahan ini perlu dan relevan untuk dibahas agar penerapannya benar-benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan benar-benar dapat memenuhi serta memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan.

B. Pengertian Taklik talak
            Yang dimaksud dengan taklik talak ialah menyandarkan jatuhnya thalaq kepada sesuatu perkara, baik kepada aucapan, perbuatan maupun waktu tertentu.[1] Hal ini dimaksudkan untuk  menjaga perbuatan sewenang-wenang dari pihak suami. Taklik talak ini dilakukan setelah akad nikah, baik langsung waktu itu mauoun di waktu lain.[2]
            Dengan taklik talak ini berarti suami menggantungkan talaknya kepada perjanjian yang ia setujui. Apabila perjanjian itu dilanggar, dengan sendirinya jatuh talak kepada isterinya.

C. Sejarah Taklik talak di Indonesia
            Menurut catatan sejarah, pelembagaan taklik talak mulai dari perintah Sultan Agung Hanyakrakususma, raja Mataram (1554 Jawa-1630 Masehi) dalam upaya memberi kemudahan bagi wanita untuk melepaskan ikatan perkawinan dari suami yang meninggalkan pergi dalam jangka waktu tertentu, disamping jaminan bagi suami bila bepergian intu adalah dalam tugas negara. Ta’lik itu disebut Takluk Janji Dalem, atau “taklek janjining ratu” artinya ta’lik dalam kaitan dengan tugas negara.[3]
            Dalam suasana pemerintahan Hindia Belanda, sejak Daendels mengeluarkan instruksi bagi Bupati tahun 1808, kemudian ditegaskan dalam Stb. 1835 No. 58 untuk mengawasi tugas para penghulu, Stb. 1882 No. 152 tentang pembentukan Raad Agama di mana penghulu juga menjadi ketuanya, kemudian keluar Ordonansi Pencatatan Perkawinan Stb. 1895 No. 198 jis Stb. 1929 No. 348 dan Stb. 1931 No. 348, Stb. 1933 No. 98 untuk Solo dan Jogya, maka timbul gagasan para Penghulu dan Ulama dengan persetujuan Bupati, untuk melembagakan taklik talak sebagai sarana pendidikan bagi para suami agar lebih mengerti kewajibannya terhadap isteri, yaitu dengan tambahan rumusan sighat tentang kewajiban nafkah dan tentang penganiayaan suami.
            Melihat bahwa bentuk ta’lik thalak di Jawa itu bermanfaat dalam menyelesaikan perselisihan suami isteri, maka banyak penguasa adaeah luar Jawa dan Madura memberlakukannya di daerah masing-masing. Ini menjadi lebih merata dengan berlakunya Ordonansi Pencatatan Nikah untuk luar Jawa dan Madura, yakni Stb. 1932 No, 482.[4]
            Ketika Indonesia merdeka, dengan berlakunya UU No.2 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1952, maka ketentuan tentang sighat taklik talak diberlakukan seragam di sluruh Indonesia, dengan pola saran Sidang Khusus Birpro Peradilan Agama pada Konferensi Kerja Kementerian Agama di Tretes, Malang tahun 1856,[5] dan terakhir setelah UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan bunyi sighat taklik yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990, seperti di bawah ini:
Sesudah akad nikah saya.........bin.........berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli isteri saya bernama ........ binti....... dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syariat Agama Islam
            Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas isteri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1)   Meningalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;
(2)   Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
(3)   Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;
(4)   Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya:
Kemudian isteri saya itu tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurusi pengaduan itu, dan pengaduannya dibenartkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, makla jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, untuk keperluan ibadah sosial.[6]


D. Eksistensi Taklik Talak
            Pembahasan mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian telah dibahas para ulama fiqih dalam berbagai kitab fiqih. Dalam pembahasan mengenai hal ini mereka ikhtilaf. Ada yang membolehkan dan ada pula yang menolaknya, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Perbedaan tersebut sampai sekarang mewarnai perkembangan Hukum Islam.
            Di antara yang membolehkan pun terdapat dua pendapat. Ada yang membolehkan secara mutlak dan ada yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Perbedaan faham di antara mereka yang membolehkan, pada dasarnya terletak pada bentuk sifat dan sighat taklik talak yang bersangkutan. Yang membolehkan secara mutlak, mereka membolehkan semua bentuk sighat taklik, baik yang bersifat syarthi maupun qasami, yang bersifat umum maupun yang dikaitkan dengan sesuatu. Sedang yang membolehkan ialah sighat taklik yang bersifat syarthi, dan sesuai dengan maksud tujuan hukum syar’i.[7]
            Fakta yuridis mengenai alasan perceraian sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan beserta penjelasannya, maupun dalam Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, tidak disinggung mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian.
            Pembuat undang-undang menganggap bahwa perceraian berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan jo. Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 telah cukup memadai, sesuai dengan jiwa undang-undang tersebut yang antara lain menganut asas mempersukar terjadinya perceraian. Sehingga tidak perlu lagi ditambah atau diperluas.
            M. Yahya Harahap dalam karyanya Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia, juga mengatakan demikian. Dinyatakan bahwa UU Perkawinan tidak menutup perceraian. Pada saat yang bersamaan undang-undang juga tidak membuka lebar-lebar pintu perceraian. Oleh karena itu jumlah perceraian harus dibatasi. Apa yang diatur dalam aturan perundang-undangan dianggap cukup memadai, mensejajari kebutuhan masyarakat. Apalagi jika dilihat dari keluwesan Pasal 19 f PP No.9 Tahun 1975, dan dikaitkan dengan perluasan alasan “melalaikan kewajiban” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan. Alasan perceraian yang kita miliki lebih dari cukup. Tidak perlu ditambah, dan memang alasan perceraian telah ditetapkan oleh undang-undang secara limitatif. Di liar itu tidak ada lasan yang dapat dipergunakan.[8]
            Namun bila dicermati dari fakta yang ada saat ini, nampak jelas bahwa perkara cerai gugat dengan alasan taklik talak yang diterima oleh Pengadilan Agama mencapai jumlah yang tidak sedikit, mencapai puluhan ribu setiap tahunnya.
            Mengenai sikap Pengadilan Agama yang tampaknya telah membenarkan alasan perceraian di luar undang-undang dapat dirumuskan beberapa hal:
            Pertama, taklik talak dari segi esensinya sebagai perjanjian yang digantungkan kepada syarat dengan tujuan utamanya melindungi isteri dari kemudharatan karena tindakan sewenang-wenang suami, mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu dalil-dalil dari kitab suci Alquran dan Hadis.
            Kedua, taklik talak sebagai alasan perceraian telah melembaga dalam Hukum islam sejak lama, sejak masa sahabat. Sebahagian besar ulama sepakat tentang sahnya dan sampai sekarang diamalkan oleh kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, khususnya di Malaysia dan Indonesia.
            Ketiga, substansi taklik talak yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama RI, dipandang telah cukup memadai, dipandang dari asas Hukum Islam ataupun jiwa UU Perkawinan.
            Keempat, di Indonesia lembaga taklik talak secara yuridis formal telah berlaku sejak zaman penjajahan Belanda, berdasarkan Staatblaad 1882 No. 152 sampai sekarang setelah merdeka menjelang diundangkannya UU Perkawinan bahkan sampai menjelang diundangkannya UU No.7 Tahun 1989. Sekalipun Staatblad 1882 No. 152 yang memberi landasan yuridis berlakunya hukum taklik talak telah dicabut dengan UU No.7 Tahun 1989 pada saat sekarang ini dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam melalui INPRES No.1 Tahun 1991 yang antara lain mengatur juga mengenai taklik talak maka taklik talak dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis.
            Dalam praktik di Pengadilan Agama baik ia sebagai perjanjian atau pun alasan perceraian, maka hakim secara tegas mempertimbangkannya dalam putusannya. Hendaknya hakim mempertajam upaya dalam mengkonstatir, mengkualifisir maupun mengkonstituir perkaranya, sehingga kecenderungan selama ini untuk menggiring atau mengarahkan perkara cerai gugat menjadi perkara taklik talak dapat dikurangi.
            Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara dapat dilaksanakan dengan benar, dan ketentuan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 62 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989, yakni: Segala Penetapan dan Putusan Pengadilan, setelah memuat alasan-alasan atau dasar-dasarnya, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan, dapat terpenuhi.
            Atas dasar ini pula penulis berpendapat bahwa taklik talak sebagai alasan perceraian relevan dan dapat dibenarkan menurut hukum.[9]

E. Rumusan Perjanjian Taklik Talak
            Sebagaimana disinggung di atas, bahwa para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam pembahasan mengenai taklik talak. Ibn Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk taklik talak, yaitu taklik qasamy dan taklik syarthi, keduanya tidak sah dan ucapannya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya karena Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak, sedang taklik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran dan Sunnah.[10]
            Ada juga yang berpendapat bahwa taklik qasamy yang mengandung masud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak. Faham ini dianut di Mesir, dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Negara tersebut No. 25 Tahun 1929 yang intinya sebagai berikut: Talak tidak tunai terjadi jika dengan talak tersebut yang dimaksud ialah menyuruh berbuat sesuatu atau meninggalkannya semata-mata. Ketentuan yang sama juga dipakai di Sudan sejak tahun 1935, dengam maklumat Syar’i No. 41.
            Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang telah mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik, baik  taklik itu mengandung sumpah (qasamy) atau mengandung syarat biasa. Karena orang yang mentaklikkan talaknya itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi orang itu menggantungkan talak kepada telah terpenuhinya  syarat yang terkandung dalam ucapannya.[11]
            Pendapat jumhur inilah yang dianut oleh Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Staatblad 1882 No. 152, bahwa Raad Agama berwenang untuk memeriksa bahwa syarat taklik telah berlaku.
            Setelah Indonesia merdeka rumusan sighat taklik talak ditentukan oleh Departemen Agama . Tidak lain maksudnya adalah untuk membatasi agar bentuk sighat taklik talak tidak secara bebas begitu saja diucapkan oleh suami, juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenang-wenangan suami.
            Berdasarkan fakta yuridis yang dihimpun dapat diketahui bahwa sejak tahun 1940 sampai sekarang, rumusan sighat taklik talak telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan itu bila diamati, tidak mengenai unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai volume/kualitas dari syarat taklik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
            Unsur-unsur dimaksud ialah: 1. suami meninggalkan isteri, 2. Suami tidak memberi nafkah kepada isteri, 3. Suami menyakitti isteri, atau 4. Suami membiarkan (tidak memedulikan isteri), 5. Isteri tidak ridha, 6. Isteri mengadukan halnya ke Pengadilan, 7. Pengaduan isteri diterima oleh Pengadilan, 8. Isteri membayar uang iwadh, 9. Jatuhnya talak suami satu kepada isteri dan 10. Uang iwadh oleh suami diterimakan kepada Pengadilan untuk diserahkan kepada pihak ketiga untuk kepentingan ibadah sosial.[12]
            Perubahan mengenai kualitas syarat taklik talak yang berlaku di Indonesia sejak sebelum merdeka (19400 hingga setelah merdeka, yakni yang ditentukan oleh Departemen Agama, masing-masing pada tahun 1947, 1950, 1956 dan tahun 1975 semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syari’i, yakni mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari perbuatan sewenang-wenang suami.[13]
            Perlunya pengaturan sighat taklik secara formal oleh Menteri Agama adalah dimaksudkan agar relevan dengan asas-asas syar’i tentang perceraian,  demikian pula agar relevan dengan asas-asas yang terkandung dengan UU Perkawinan khususnya yang berkaitan dengan alasan perceraian.
            Oleh karena itu rumusan sighat taklik talak sebagaimana yang terakhir ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1990 juncto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan dengan asas-asas tersebut. Dengan kata lain (mafhum mukhalafahnya) maka semua bentk taklik talak selain (di luar) yang ditentukan oleh Departemen Agama/Menteri Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.

F. Pengaruh Taklik Talak terhadap Kedudukan Wanita dalam Rumah Tangga
            Dalam sistem hukum dunia, kompetensi perceraian sepenuhnya berada di tangan hakim. Pengadilan adalah astu-satunya forum yang dapat memenuhi permohonan cerai dan mengesahkan pembubaran mahligai perkawinan. Walaupun dalam hukum Islam diketahui bahwa hakim sama sekali tidak mempunyai hak menjatuhkan talak terhadap istri dalam kondisi apapun.[14]
            Perceraian adalah hak pria, asalkan ia berlaku secara wajar terhadap istrinya. Perilaku yang wajar dari seorang pria terhadap isterinya ialah bahwa apabila ia berkehendak untuk hidup bersama isterinya, maka ia harus mengurusinya dengan sepatutnya, menghormati hak-hak isterinya, dan berlaku kasih sayang terhadapnya. Apabila tidak ada jalan baginya untuk meneruskan kehidupan bersama isterinya itu maka ia harus secara sopan dan ramah menceraikannya.
            Kenyataan di lapangan terlihat banyaknya perceraian yang disebabkan kelalaian suami terhadap isteri dalam hal pengurusan, pemberian nafkah, dan penghargaan terhadap wanita.[15] Dalam hal inilah tampak akan fungsi taklik talak yang mengikat pertanggungjawaban suami terhadap isterinya.
            Dari satu sisi suami akan lebih konsisten dan bertanggungjawab terhadap kelangsunan rumah tangga dan di sisi lain isteri akan lebih dihargai. Pelanggaran suami terhadap hal-hal yang termaktub dalam sighat taklik talak sudah merupakan alasan bagi istri untuk mengajukan keberatan dan menuntut dijatuhkannya talak.
            Walau masih terdapat beberapa pendapat yang kontradiktif terhadap keberadaan taklik saat ini, namun pengaruhnya terhadap penghargaan terhadap wanita dalam rumah tangga lebih besar.
            Menurut Abdul Karim Amrullah, lembaga taklik talak dapat menolong wanita dari perbuatan kesewenang-wenangan laki-laki. Sebagaimana dahulu banyak terjadi di daerah Minangkabau, banyak perempuan yang terkatung-katung, tidak pernah begaul dan tidak pernah diberi nafkah oleh suami, tetapi tidak pula diceraikan.
            Apabila mereka mengadu ke Pengadilan, mereja justru disalahkan karena sulitnya Hakim Agama mengabulkan gugatan perceraian dari mereka, padahal mereka benar-benar ditelantarkan oleh suaminya, kemudian banyak diantara mereka yang murtad, dengan sendirinya putuslah nikah dengan suaminya. Oleh karena itu pada tahun 1916, untuk membebaskan perempuan dari laki-laki yang tidak bertanggungjawab, atas usul beliau di daerah Minangkabau diberlakukan taklik talak.[16]
            Mahmoud Syaltout dalam buku Perbandingan Mazhab menjelaskan bahwa para ahli hukum Islam berpendapat bahwa perjanjian taklik talak adalah jalan terbaik dalam melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian taklik talak, ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama, maka perjanjian taklik talak itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik. Apabila suami melanggar perjanjian yang telah disepakati itu maka isteri dapat meminta cerai kepada hakim yang telah ditunjuk oleh pihak yang berwenang.[17]
            Untuk itulah maka sesuai dan menurut kemaslahatan bagi suami maupun isteri, eksistensi taklik talak sangatlah penting.[18] Murtadha Muthahhari mengilustrasikan perceraian yang wajar dan normal ibarat suatu kelahiran yang normal, yang berlangsung sendirinya secara normal, tetapi perceraian dari seorang suami yang tidak mau melaksanakan kewajibannya dan tidak mau pula menceraikan isterinya ibarat suatu kelahiran yang tidak alami dan tidak normal, dimana diperlukan seorang dokter atau ahli bedah (hakim).[19]

F. Penutup
            Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahawa keberadaan taklik talak sangatlah penting. Eksistensi taklik talak yang sudah ditopang oleh kekuatan hukum yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam serta pengaruhnya terhadap keberadaan wanita menambah pentingnya arti taklik talak dalam kehidupan rumah tangga.
            Kedudukan wanita akan lebih berarti karena akan terhindar dari sikap kesewenang-wenangan suami, tanggung jawab suami sebagai pemimpin rumah tangga akan lebih dihargai dan pada akhirnya tentunya tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.








DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Arso Sastroadmodjo, 1975, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.

Daniel S. Lev, 1986, Islamic Court in Indonesia (Peradilan Agama Islam di Indonesia), terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Cet. II., PT. Intermasa, Jakarta.

Hamka, 1981, Tafsir al-Azhar, Juz V, Panji Masyarakat, Jakarta.

Ibrahim Muhammad al-Jamal, 1995, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh Muslimah), terjemahan Zaid Hussein al-Hamid, Cet. II, Pustaka Amani, Jakarta.

M. Yahya Harahap, 1989, Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia, FH-UI, Jakarta.

Mahmoud Syaltut, 1978, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh, terjemahan Ismuha, Bulan Bintang, Jakarta.

Moch. Anwar, 1991, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, CV. Diponegoro, Bandung, 1991.

Moh. Adnan, 1984, Tatacara Islam, Bahasa dan Tulisan Jawa, Penerbit Mardi Kintoko, Surakarta.

Mohd. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Islam Perkawinan (Suatu Analisis Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta.

Murtadha Muthahhari, 1997, The Rights of Women in Islam, terjemahan M. Hashem, Penerbit Pustaka, Bandung.

Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh Sunnah, Jilid III, Dar al-Fikr, Beirut.

Victor Situmorang, 1988, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Cetakan I, PT Bina Aksara, Jakarta.

Zaini Ahmad Noeh, 1997, Pembacaan Sighat Taklik Thalaq sesudah Akad Nikah , dalam Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII.


Majalah, jurnal, laporan:
Buku Laporan Kementerian Agama 1956.

Mimbar Hukum, No. 23 Tahun VI, 1995.




[1]Moch. Anwar, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, CV. Diponegoro, Bandung, 1991, hal. 68.
[2]Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia (Peradilan Agama Islam di Indonesia), terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Cet. II., PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hal. 204.
[3]Ta’lik tidak dibaca oleh pengantin pria, tetapi diucapkan oleh penghulu Naib dan cukup dengan dijawab: Hinggih sendika (Saya bersedia). Bentuk itu dulu berlaku di daerah Surakarta sampai masa menjelang kemerdekaan. Lihat Moh. Adnan, Tatacara Islam, Bahasa dan Tulisan Jawa, Penerbit Mardi Kintoko, Surakarta, 1984, hal. 70.
[4]Sekitar tahun 1925 sudah berlaklu taklik talak di daerah Minangkabau, bahkan di Muara Tembusi sudah sejak 1910, begitu juga pula di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Selatan serta Sulawesi Selatan. Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Sighat Taklik Thalaq sesudah Akad Nikah , dalam Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII, 1997, hal. 66.
[5]Buku Laporan Kementerian Agama 1956, hal. 322.
[6]Mimbar Hukum, No. 23 Tahun VI, 1995, hal. 70.
[7]Mahmoud Syaltut, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh, terjemahan Ismuha, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal. 218-219.
[8]M. Yahya harahap, Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia, FH-UI, Jakarta, 1989, hal. 4.
[9]Pada Pasal 116 (g) Bab VI dalam Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa alasan perceraian adalah suami melanggar taklik talak. Lihat  Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Islam Perkawinan (Suatu Analisis Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal. 153.
[10]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III, Dar al-Fikr, Beirut, 1983, hal. 223.
[11]Mahmoud Syaltout, Op.Cit., hal. 227.
[12]Arso Sastroadmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal. 91.
[13]Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit., hal. 119.
[14]Islam tidak mengekang wanita, tetapi memberi kesempatan untuk menuntut talak di hadapan hakim seandainya ia merasakan penderitaan yang sangat berat dan tidak bisa hidup dalam naungan suami. Ia boleh meminta cerai atas dasar penderitaan ini dan hakim harus membuktikan dan menyelidiki perkaranya. Lihat Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh Muslimah), terjemahan Zaid Hussein al-Hamid, Cet. II, Pustaka Amani, Jakarta, 1995, hal. 311.
[15]Victor Situmorang, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Cetakan I, PT Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 10.
[16]Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz V, Panji Masyarakat, Jakarta, 1981, hal. 71.
[17]Daniel S. Lev, Op.Cit., hal 4.
[18]Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, terjemahan M. Hashem, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997, hal. 197.
[19]Ibid