Jumat, 08 April 2011

AGAMA DAN SEKULARISASI

MENCARI TITIK TEMU DUA IDEOLOGI
A. Pendahuluan
            Jika ditinjau dari sudut sosiologi modernisasi, ada kaitan yang inheren antara masyarakat beragama dengan paham sekularisme dan sekularisasi. Pada mulanya sekularisasi dinyatakan sebagai bagian integral dari proses modernisasi.[1] Namun pada pada realitanya sekularisasi lebih diarahkan pada pemisahan lembaga agama dari lembaga negara, atau dengan kata lain pembedaan antara fungsi politik dan fungsi agama. Asumsi-asumsi dasar tentang modernisasi terdiri dari sekularisme, materialisme, individualisme, dan komitmen untuk kemajuan melalui sains dan teknologi, yang pada akhirnya menurut John L. Esposito, hal inilah yang membentuk inti polemik intelektual Barat melawan Islam dan pembenaran intelektual bagi dominasi Barat terhadap Muslim[2]
            Sesuai dengan akar historis pertumbuhan dan perkembangannya, sekularisasi yang muncul pada abad pertengahan di Barat dimaksudkan untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama, apakah itu yang dianggap tradisi atau dogma, menuju terjadinya perubahan dan pembaruan dalam hidup kemasyarakatan. Selama seseorang masih terikat pada tradisi dan agamanya, maka selama itu pula ia tidak akan mampu mengadakan perubahan dalam tata cara hidupnya.
            Tradisi memang mempunyai sikap mengikat, apalagi agama yang diyakini bersumber pada wahyu Ilahi. Oleh karena itu Marxisme beranggapan  bahwa agama adalah candu masyarakat. Inilah salah satu sebab terpenting mengapa agama dianggap sebagai penghambat bagi kemajuan suatu masyarakat. Maka paham sekularisme dan sekularisasi hadir ke dalam masyarakat supaya terjadi perubahan maupun pembaharuan.

B. Definisi agama
            Mendefinsikan agama merupakan sesuatu yang sulit dengan berbagai alasan. Seperti dorongan emosi dan semangat membicarakannya. Merumuskan konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberi definisi agama tersebut. Faktor  empiris terhadap pengamalan agama yang bersifat subjektif dan individualistik juga memengaruhi definisi yang diberikan. Tidak bisa dipandang suatu definisi yang dibuat seseorang lebih unggul dari yang lain. Sehingga ada yang beranggapan bahwa usaha untuk memberikan definisi terhadap agama tidak ada gunanya.[3]
            Hal ini disebabkan antara lain, dalam menjelaskan sesuatu secara ilmiah (dalam arti mendefinisikannya), mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya.[4]
            Agama telah dimaknai dalam berbagai bahasa dan dengan berbagai arti tentunya.  Misalnya dalam bahasa Semit agama disebut dengan dien yang artinya undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab agama dikenal dengan istilah din yang artinya menguasai, menundukkan, patuh, hutang balasan, kebiasaan.  Sedangkan dalam bahasa Sanskrit agama terdiri dari dua kata yaitu a artinya tidak, gama artinya pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun.[5]
            Sedangkan menurut istilah, para ahli kembali berbeda pendapat tentang definisi agama.
            Harun Nasution mengatakan bahwa agama adalah ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia, yang punya pengaruh besar dalam hidup manusia sehari-hari, yang berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera.[6]
            Mahmud Syaltut sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, menyatakan bahwa agama adalah ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.[7]
            Agama secara umum dapat diartikan sebagai perangkat aturan dan peraturan yang mengatur  hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur  hubungan manusia dengan lingkungannya.[8] Definisi lebih menjurus melihat agama sebagai teks ataupun doktrin, sehingga ketertiban manusia sebagai pendukung atau penganut agama tersebut tidak tercakup di dalamnya. Sehingga peranan keyakinan keagamaan terhadap kehidupan duniawi dan sebaliknya, dan kelestarian serta perubahan-perubahan keyakinan keagamaan tidak tercakup dalam definisi di atas.
            Menurut para pakar ilmu-ilmu sosial dalam Oxford Dictionary of Sociology seperti yang dikutip oleh Walter H. Capps, agama (religion) sebagai a set of beliefs, symbols and practices, whis based on the idea of the sacred, and which unites believers into s socio-religious community.[9] Definisi ini jika ditranslitkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna agama adalah seperangkat kepercayaan, lambang-lambang dan praktik yang didasarkan atas ide tentang sesuatu yang sakral, dan yang mempersatukan mereka yang percaya ke dalam komunitas sosio-religius.
            Definisi yang diberikan oleh para pakar ilmu-ilmu sosial tersebut telah sepakat mendefinisikan agama dengan merujuk kepada yang sakral, ketimbang pada keyakinan yang sifatnya normatif kepada Tuhan. Ini menunjukkan bahwa para sosiolog tersebut bpendapat dengan bertitik tolak pada agama yang dipraktikkan, dihayati, dan diamalkan dalam masyarakat dalam segi das sein dan bukan pada aspek das sollen, yakni agama yang seharusnya dipraktikkan secara normatif dan teologis. Hal ini wajar sebab asal mula timbulnya agama itu sendiri pada hakikatnya tumbuh dan datang dari persepsi manusia sebagai makhluk sosial berbudaya yang memiliki sifat corious thinking, termasuk dalam mencari simbol-simbol ketuhanan, serta tentang cara mengekspresikan kemahakuasaan atau supreme being.
            John Herman Rendral mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh C.J. Blecker bahwa agama adalah hasil kerja daripada peradaban manusia yang diolah oleh manusia sendiri berabad-abad lamanya untuk mendapatkan tata cara hidup yang lebih baik.[10]
C. Definisi Sekuler, Sekularisasi
            Sekuler menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian).[11] Kata sekuler maupun sekularisasi berasal dari bahasa Eropa (Inggris, Belanda atau Perancis) yaitu secular. Asal kata sekular adalah bahasa Latin yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini[12], dapat juga diartikan dengan abad (age, century, eewu, siecle). Jadi sekuler berarti seabad. Selanjutnya sekuler juga mengandung arti “bersifat duniawi” atau “yang berkenaan dengan hidup dunia sekarang” (temporal, wordly, wereldijk, mondaine).[13]
            Ada satu kata lain dalam bahasa Latin yang menunjukkan makna dunia yaitu mundus, yang kemudian di Inggriskan menjadi mundane. Kata saeculum lebih menunjukkan masa (time) berbanding mundus yang menunjukkan makna ruang (space).[14]  Hal ini juga dikatakan oleh Muhammad Naquib Al-Attas yang mengatakan bahwa kata sekuler yang diadopsi dari kata seaculum memiliki arti dengan konotasi rangkap, ditandai dengan waktu dan tempat.[15] Waktu, menunjuk pada pengertian sekarang atau pada masa kini, dan tempat menunjuk pada pengertian dunai atau duniawi. Tekanan maknanya terletak pada suatu waktu tertentu atau periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses sejarah. Sekular dengan demikian adalah konsep yang menunjuk pada kondisi dunia dalam waktu atau periode atau era tertentu.
            Pengertian pertama tentang sekularisasi ialah bahwa ia adalah proses, yaitu proses penduniawian. Dalam proses tersebut terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Tetapi dalam perjalanan waktu dan historis, kemudian sekularisasi dimaksudkan sebagai pembebasan manusia pertama kali dari agama, kemudian dari metafisika yang selalu mengontrol akal dan bahasanya.
            Harun Nasution mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.[16] Sekularisasi dengan demikian adalah proses melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama. Dalam perkembangan selanjutnya bisa mengarah pada diabaikannya agama dan akhirnya mungkin sekali mengarah pada ateisme.
            Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek politik dan sosial kehidupan, bahkan telah merasuki adpek kultural, karena hal ini menunjukkan hilangnya determinasi religius dari simbol-simbol integrasi kultural. Sekularisasi menyiratkan suatu proses historis, dimana masyarakat dan kultur, bebas dari perwalian kontrol religius dan pandangan-pandangan dunia metafisis yang tertutup. Sekularisasi menjadi suatu perkembangan pembebasan, dan hasil akhirnya adalah relativisme historis. Oleh karenanya menurut para ahli, komponen-komponen integral dalam dimensi-dimensi sekularisasi adalah disankanmen (disenchanment of nature) (penidak-kramatan) alam, desakralisasi (desacralization of politics) (penidak-sucian) politik dan dekonsekrasi (deconsecration of values) (penidak-muliaan) nilai-nilai.[17]
            Disankanmen alam dimaksudkan sebagai pembebasan alam dari bisik-bisik religius, dan hal ini mengakibatkan penyingkiran roh-roh animistis, Tuhan-tuhan dan magis dari dunia natural, memisahkannya dari Tuhan dan memisahkan manusia daripadanya, sehingga manusia tidak lagi memandang alam sebagai kesatuan yang didewakan. Dengan demikian membolehkan manusia berbuat semaunya terhadap alam untuk mendayagunakannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan rencana-rencananya, dan karena itulah yang dapat menciptakan perubahan dan petkembangan historis.
            Istilah disankanmen alam (disenchanment of nature), berasal dari terjemahan Die Entzauberung der Welt, yang diambil dari gagasan Max Weber, seorang sosiolog Jerman. Harvey Cox seperti yang dikutip oleh Adnin mengatakan bahwa sains bisa maju dan berkembang, jika dunia ini dikosongkan dari tradisi atau agama yang menyatakan bahwa ada kekuatan gaib (supernatural) yang menjaga dunia ini.[18] Jadi dengan cara apa pun, semua makna-makna ruhani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Oleh sebab itu ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam ini bukanlah suatu entitas suci (divine entity).
            Desakralisasi politik (desacralization of politics) dimaksudkan sebagai penghapusan legitimasi sakral terhadap kekuasaan dan otoritas politik, yang merupakan prasyarat perubahan politik dan karena itu pula perubahan sosial yang memungkinkan timbulnya proses sejarah.  Dengan demikian unsur-unsur ruhani dan agama harus disingkirkan dari politik. Segala macam kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat apa pun tidak boleh berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas otoritas kuasa suci. Dari gagasan ini dapat dipahami secara logis, jika kaum sekular menolak mati-matian penerapan syariat Islam.
            Sedangkan dekonsekrasi nilai-nilai (deconsecration of values) dimaksudkan sebagai pemaknaan sementara dan relatif terhadap semua karya cipta budaya dan setiap sistem nilai mencakup juga agama dan pandangan dunia yang bermakna mutlak dan final, sehingga dengan cara ini sejarah dan masa depan terbuka bagi perubahan, dan manusia bebas membuat perubahan serta meleburkan dirinya ke dalam proses evolusioner itu.  Tidak ada nilai yang mutlak. Sistem nilai manusia sekular harus dikosongkan dari nilai-nilai agama. Sekularisasi meletakkan tanggung jawab ke dalam otoritas manusia untuk membina sistem nilai. Sekularisasi akan menjadikan sejarah  dan masa depan cukup terbuka  untuk perubahan dan kemajuan karena manusia akan bebas membuat perubahan serta pro-aktif dalam proses evolusi.
            Kalau sekuler artinya bersifat duniawi, maka sekularisasi merupakan proses penduniawian, maka sekularisme adalah doktrin, policy atau keadaan menduniawikan, yaitu melepaskan hidup duniawi dari ikatan-ikatan agama. Dalam Ensiklopedi Brittania disebutkan bahwa sekularisme merupakan gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan manusia dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada dunia.[19]
            Sekularisme, kata Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid alm), membentuk filsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan hampir seluruh agama di dunia ini.[20]
            Banyak pertanyaan muncul yang disebabkan kebingungan mendikotomikan antara sekularisasi dengan sekularisme, yang jika tidak dicermati dengan seksama akan memunculkan kekeliruan yang besar.
            Mengutip pernyataan Harvey Cox, Cak Nur mengatakan bahwa sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, hampir pasti tidak mungkin diputar kembali, yang di dalamnya masyarakat  dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Sedangkan sekularisme  adalah nama baru untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru.[21]
            Sekularisme merupakan pandangan hidup yang berprinsip bahwa agama atau hal-hal yang bernuansa agama tidak boleh masuk dalam pemerintahan. Begitu juga yang menyangkut pertimbangan-pertimbangan agama tidak diperkenankan masuk ke dalam wilayah pemerintahan. Sekularisme bahkan memisahkan agama dari kehidupan individu maupun sosial dalam arti bahwa agama tidak boleh berperan dalam bidang pendidikan, kebudayaan maupun hukum.
            Oleh karena itu Cak Nur dengan tegas menolak sekularisme walaupun mengharuskan adanya sekularisasi.[22] Sekularisme dengan demikian menafikan eksistensi apa yang dikenal oleh agama-agama yang ada sebagai Hari Kemudian, Hari Kebangkitan dan lain-lain. Hal ini tentu saja bertentangan dengan agama Islam, sebab Islam mengajarkan dan memberitahukan adanya Hari Kemudian (akhirat) dan orang Islam wajib meyakininya.

D. Agama versus Sekularisasi: Adakah titik temu?
            Pada mulanya sekularisasi yang terjadi di Barat merupakan reaksi yang dilakukan para cendikiawan (ahli pikir) terhadap gereja yang menentang segala hasil penelitian, teori dan hasil penalaran rasional murni yang berlawanan dengan gereja. Memang segala persoalan sekularisasi adalah dalam konteks kebuadayaan Barat, “Christendom” (Alam Kristen). Sekularisasi tidak dapat dipahami dan tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah gereja.[23] Di Barat, pada abad pertengahan, mulai terjadi langkah-langkah yang memisahkan bidang agama (yang berhubungan dengan Hari Kemudian) dengan bidang sekular (hal-hal yang berhubungan dengan dunia atau zaman sekarang). Sedikit demi sedikit urusan keduniawian memperoleh kebebasan dari pengawasan gereja, yang saat itu di Barat masih beragama Katolik, sedangkan agama Protestan belum lahir.[24]
            Kekuasaan gereja yang didukung oleh penguasa (Raja/Kaisar) pada waktu itu sangat kuat untuk menentang ilmu dan kebebasan. Wacana keilmuan yang pernah mendominasi orang-orang Yunani sebelumnya, yang kemudian dijadikan oleh gereja sebagai sesuatu yang kudus menjadi bagian dari agama. Tidak boleh seorang pun menentangnya atau menginterpretasikan yang bertentangan dengan keputusan gereja, terutama yang menyangkut ilmu kimia, fisika maupun geografi dan sebagainya.
            Gereja memusuhi orang yang menyampaikan teori ilmu yang bertentangan dengan ajaran gereja, seperti pendapat yang mengatakan bahwa bumi ini bulat dianggap sebagai suatu kekafiran dan keluar dari agama.  Gereja pada masa itu menjadi cermin teror agama, teror pemikiran dan teror politik yang mengancam setiap orang yang dibenaknya memiliki pandangan atau pemikiran yang bertentangan dengan pandangan gereja.[25]
            Jadi sekularisasi yang didengungkan oleh para pemikir, filsuf dan rakyat pada waktu itu adalah untuk membebaskan diri dari kungkungan gereja menuju pencerahan dan perubahan yang lebih mengoptimalkan peran rasion maupun penalaran murni untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bukan menjadi otoritas gereja sepenuhnya.
            Faktor lain yang membidani lahirnya sekularisasi di Barat ketika itu adalah filsafat Aristoteles yang mengakui adanya Tuhan dan sifat kesempurnaan-Nya. Namun Aristoteles memandang bahwa Tuhan merupakan sebagai penggerak pertama tidak berperan mengatur urusan dunia ini dan tidak mengetahui sedikit pun tentang apa yang terjadi di dalamnya, baik yang masuk ke dalam bumi maupun yang keluar dari bumi.
            Tuhan dalam filsafat Aristoteles tidak memiliki peran terhadap alam ini dengan segala kejadian di dalamnya. Dia tidak menghidupkan dan tidak mematikan, tidak mencipta dan tidak memberi rezeki, bahkan tidak memberi manfaat dan mudharat. Filsafat Aristoteles inilah yang memengaruhi pemikiran Barat yang menyimpan pemahaman bahwa Tuhan telah menciptakan alam, namun setelah itu membiarkan alam mengatur dirinya sendiri.
            Faktor lain yang menjadikan gerakan sekularisasi di Barat tumbuh subur adalah menyangkut teks Injil sebagai kitab suci agama Kristen yang menjadi pemeluk agama mayoritas di Barat, “Biarkanlah Kaisar mengurus yang menjadi bagiannya dan Allah mengatur apa yang menjadi tugasnya”.[26] Sikap ambivalen ini menjadikan hidup manusia terbagi dua bagian, satu untuk agama yang lainnya untuk kaisar.
            Menyangkut tugas khusus yang diberikan kepada Kaisar adalah dalam hal mengatur dunia, kehidupan, masyarakat dan pemerintahan. Sedangkan tugas yang khusus untuk Allah adalah agama, dan masalah-masalah ruhani, yang masing-masing tidak boleh saling mengintervensi. Inilah yang disebut dengan logika sekularisme yakni menyerahkan urusan agama dan ruhani kepada gereja yang menjadi wakil Tuhan di muka bumi untuk mengatur pembaptisan, upacara keagamaan, jabatan kependetaan dan sebagainya. Sementara persoalan politik, kenegaraan, hukum, ekonomi, pendidikan, kebudayaan menjadi bagian tugas Kaisar (tugas yang tidak ada hubungannya dengan agama).
            Pada masyarakat sekular tidak dikenal adanya gereja.[27] Pada beberapa negara Eropa, institusi keagamaan yang pernah merasa bangga dengan nama dan realitas gereja, kini dihadapkan pada tantangan sekularisasi dengan penciutan status gereja menjadi sekte. Untuk menghadapi tantangan ini, gereja melakukan siasat ekumenikalisme. Karena yang dikikis oleh sekularisme adalah intensitas keyakinan spesifik, rasa superioritas dan keterasingan, maka jalan keluar seperti itu lebih mudah untuk diterima. Ekumenikalisme merupakan respons yang barang kali dapat mencegah perubahan gereja menjadi sekte, karena perubahan tersebut merupakan suatu kelaziman pada organisasi keagamaan dalam masyarakat sekular.
            Perlawanan terhadap sekularisasi tidak hanya terjadi di kalangan gereja. Beberapa negara Islam pernah melakukan perlawanan terhadap sekularisasi. Turki semasa Kemal Attaturk, yang meniru Barat dalam segala hal, seperti larangan wanita memakai jilbab, penghentian penerapan hukum-hukum syariat dan sebagainya, ternyata tidak mampu mengikis habis akar-akar Islam.[28] Peristiwa Turki menunjukkan bahwa sekularisasi tidak pernah mendapat tempat dalam Islam.
            Untuk memahami sikap agama-agama terhadap sekularisasi, terlebih dahulu harus dikenal setepat mungkin apa sasaran yang hendak dicapai sekularisasi di satu pihak, kemudian apa yang hendak dicapai agama di pihak lain. Tujuan yang hendak dicapai sekularisasi  adalah manusia yang otonom.[29] Sementara tujuan agama adalah sama seperti yang hendak dicapai oleh sekularisasi, memanusiakan manusia sebagai pribadi yang berdaulat.[30]
            Tetapi para peneliiti dalam masalah ini mengatakan bahwa terdapat perbedaan dalam cara bekerja. Sekularisasi menggunakan tenaga empiris semata-mata yang tersedia di dunia ini. Sedangkan agama disamping empiris juga mendayagunakan kekuatan supra empiris yang datang dari luar.
            Frederich Gogarten dalam bukunya Verhagnis und Hoffnung der Meuzit mengatakan bahwa sekularisasi adalah anak kandung agama Kristen yang ada di Eropa. Sekularisasi adalah suatu kelanjutan  dari iman Kristen yang sah dan mendesak.[31] Berkat kepercayaan akan penyelamatan yang datang dari Tuhan, dunia diniakan. Karena kepercayaan inilah manusia dibebaskan dari kungkungan pemahaman dunia religius mistis. Sesudah zaman Aufklarung (Fajar Budi) sekularisasi dan agama menjadi dua gerakan yang saling berlawanan, seperti anak kandung menentang ibunya.
            Bersamaan dengan itu pula agama-agama juga mengambil tempat sebagai penentang sekularisasi. Misalnya Islam yang menolak filsafat Yunani yang dirasa dapat membahayakan ajaran Islam pada abad pertengahan. Sementara itu gereja Katolik selalu menentang cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dianggap membahayakan ortodoksi serta kewibawaan gereja dan alasan yang masih dapat diperdebatkan kebenarannya. Kesan umum yang muncul dapat disimpulkan bahwa agama bermaksud memajukan umat dengan melepaskan yang lama tetapi sekaligus mau mempertahankan yang lama.
            Sedangkan dalam masyarakat sekular, agama hanya terlibat sedikit dalam kehidupan. Mungkin terlalu pagi untuk mengatakan bahwa masyarakat modern dapat berfungsi tanpa agama, atau bahwa masyarakat itu berfungsi sendiri. Masyarakat sekular masa kini, dimana pemikiran, prakti dan institusi keagamaan hanya merupakan bagian kecil saja, hanya mewarisi sedikit nilai-nilai, watak dan orientasi masa lampau. Masyarakat yang sepenuhnya sekelar  belum ada.[32]
            Disamping itu kritik keras terhadap sekularisasi muncul dimana-mana. Almarhum Ismail Raji al-Faruqi mendirikan Institut Pemikiran dan Peradaban Islam Internasional, untuk mrnghadapi arus sekularuisasi yang dominan dalam kehidupan masyarakat Muslim. Ada juga Muhammad Naquib Al-Attas yang mengkritik gagasan sekularisasi. Menurut Al-Attas, akar sekularisasi bukan terdapat dalam Bibel, tetapi terdapat dalam penafsiran ornag Barata terhadap Bibel.[33] Sekularisasi bukanlah dihasilkan oleh Bibel, namun ia dihasilkan oleh konflik lama dan akut antara akal dan Bibel di dalam pandangan hidup orang Barat. Hal ini disebabkan tidak kuatnya dogma dan ajaran Kristen dalam menghadapi Barat yang sekular, makanya Kristen terbaratkan.
            Al-Attas juga mengkritik makna yang terkandung dalam istilah sekularisasi. Bagi Al-Attas, walaupun Harvey Cox membedakan antara sekularisme dan sekularisasi, namun pada akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisme. Sekularisme dan sekularisasi memiliki persamaan yaitu relativisme sejarah yang sekular.[34]
            Oleh karena relativisme sejarah yang menjadi urat nadi sekularisasi itulah, konsep ini dikritik habis-habisan oleh para pemikir Islam. Islam adalah agama yang mampu mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa lalu, namun juga sekarang dan masa yang akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam kekal sepanjang masa. Islam punya pandangan hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dan lain-lain. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis dan psikologis sendiri terhadap hakikat. Islam menolak dekonsekrasi nilai karena ia bermaksud merelatifkan semua sistem akhlak.
            Yusuf Qaradhawi juga menolak sekularisasi karena ia akan menghalangi pelaksanaan syariat Islam.[35] Sangat disayangkan jika gagasan sekularisasi banyak diadopsi, dianjurkan bahkan diimplementasikan oleh para pemikir, pemimpin Islam,. Karena sekularisasi merupakan buah empiris pahit Barat dalam hubungan antara agama dengan negara atau pertentangan antara agama dan sains seperti dalam sejarah Kristen.
            Sekularisasi yang merupakan bagian dari modernisasi juga telah menunjukkan sisi buruknya. Dalam masyarakat modern, di mana institusi-institusi sekular telah memasuki sebagai ranah publik (public atmosphere), nampak jelas bahwa berbagai gagasan religius dan institusi-institusi keagamaan semakin diprivatisasikan dan dimarginalkan, sebagai institusi non-formal dan cenderung tergeser oleh rasionalitas formal yang meminjam istilah dari Max Weber,[36] yang termanifestasikan dalam bentuk institusi formal. Selain masalah rasionalisasi, modernisasi dan juga sekularisasi memiliki implikasi lain dalam masyarakat. Fragmentasi sosial, menguatnya individua;itas, dan semakin rapuhnya sense of community dalam masyarakat modern merupakan persoalan yang menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat agama.

E. Penutup
            Gerakan sekularisasi perlu menghindari dua ujung yang penuh bahaya, yaitu humanisme ateis dan spritualisme irrealis. Humanisme ateistis (termasuk sekularisme) akan menghasilkan nilai-nilai semu manusiawi seperti martabat manusia, kebebasan dan otonominya. Dikatakan semu bahkan palsu, karena nilai-nilai tersebut kehilangan hakikat otentiknya, bila dilepas dari sumbernya yaitu Tuhan yang transenden. Di ujung lain, spritualisme irrealis (kosong) akan membuahkan rasa frustasi dan sikap benci bahkan anti terhadap apa saja yang bersifat ruhani, termasuk agama. Sikap berat sebelah yang hanya menitikberatkan tercapainya kepuasan ruhani, lepas dari kewajiban mengusahakan kebutuhan duniawi adalah sikap mental yang tidak berpijak pada landasan yang nyata.
            Oleh sebab itu sekularisasi banyak ditentang oleh kaum agamis. Karena sekularisasi menjauhkan manusia dari agama dan nilai-nilai


Daftar Pustaka

Buku-buku :

Abuddin Nata, 2000, Metodologi Studi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Blecker, C.J., 1968, Agama-Agama Dunia, Sumur, Bandung.
D. Hendro Puspito, 1992, Sosiologi Agama, Kanisius, Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta.


Endang Saifuddin Anshari, 1990, Ilmu, Filsafat dan Agama, PT.Bina Ilmu, Surabaya.
Faisal Ismail, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta.

H. Capps, Walter, 1995, Religious Studies: The Making of a Discipline, Fortress Press, Minneapolis.

Harun Nasution, 1974, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I, Bulan Bintang, Jakarta.


_______ , 1995, Islam Rasional, Mizan, Bandung.
Koentjaraningrat, 1976, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. III.

L. Esposito, John, 2001, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Law, Bagian  IV, pent. Eva Y.N., et.al., editor Ilyas Hasan, Dian R. Basuki, Penerbit Mizan, Bandung.

M. Quraish Shihab, 1995, Membumikan Al-Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, Cet. IX.

M. Rasyidi, 1977, Empat Kuliah Agama pada Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta.

Naquib Al-Attas, Muhammad, 1986,Dilema Kaum Muslimin, Bina Ilmu, Surabaya.
Nurcholis Madjid, 2008,  Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Penerbit Mizan, Bandung, Edisi Baru.


Parsudi Suparlan, 1995, dalam kata pengantar Sociology of Religion oleh Ronald Robertson, Edisi Indonesia, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Qaradhawi, Yusuf, 1999, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, terj. Fiqih Daulah, pent. Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

Qaradhawi, Yusuf, 2000, al-Tatharufu al-‘Ilmani fi Muwajahati al-Islam, terj. Sekular Ekstrim, pent. Nabani Idris, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.

Robertson, Roland, ed., 1993, Sociology of Religion, terj. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, pent. Achmad Fedyani Saifuddin, Rajawali Pers.

Situs/Website:
Adnin, Menolak Sekularisasi, www.geocities.com/kajianbudaya/artikel33,htm., diakses tanggal 7 Maret 2008.


Hilman Latief, Mendefinisikan Universalisme Islam Peta Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia tentang Peran Agama dalam Wilayah Publik, www.psap.or.id/jurnal.php, diakses tanggal 24 Februari 2008






















Bio Data Penulis

Nama                                     : Nurul Hakim, S.Ag., MA
Tempat/tanggal lahir              : Medan, 6 Maret 1976.
Pekerjaan                              : Dosen Tetap Fak Hukum UMSU
NIDN                                       : 0106037605
Pendidikan Terakhir              : Pascasarjana IAIN SU Medan Prodi Hukum Islam
Alamat                                   : Jl. Bromo Gg. Setia Kawan I No.10 Medan
HP                                          : 081260573284


















[1]Modernisasi adalah suatu usaha secara sadar yang dilakukan oleh suatu bangsa atau negara untuk “menyesuaikan diri” dengan konstelasi dunia pada suatu kurun tertentu di mana bangsa itu hidup. Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta, Cet. III, 1976, hlm. 131.
[2]John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic Law, Bagian  IV, pent. Eva Y.N., et.al., editor Ilyas Hasan, Dian R. Basuki, Penerbit Mizan, Bandung, 2001, hlm. 28.
[3]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, PT.Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hlm. 117-118. Lihat juga Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000, hlm. 89.
[4]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, Cet. IX., 1995, hlm. 209.
[5]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 9,10.
[6]Ibd., hlm. 121.
[7]M. Quraish Shihab, Loc.Cit..
8Parsudi Suparlan, dalam kata pengantar Sociology of Religion oleh Ronald Robertson, Edisi Indonesia, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 5.
9Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline, Fortress Press, Minneapolis, 1995, hlm. 17.


[10]C.J. Blecker, Agama-Agama Dunia, Sumur, Bandung, 1968, hlm. 119.
[11]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 894.
[12]Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Penerbit Mizan, Bandung, Edisi Baru, 2008, hlm. 241.
[13]Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 188.
[14]Adnin, Menolak Sekularisasi, www.geocities.com/kajianbudaya/artikel33,htm., diakses tanggal 7 Maret 2008.
[15]Muhammad Naquib Al-Attas, Dilema Kaum Muslimin, Bina Ilmu, Surabaya, 1986, hlm. 14.
[16]Harun Nasution, Loc.Cit.
[17]Muhammad Naquib Al-Attas, Op.Cit., hlm. 15.
[18]Adnin, Loc.Cit.
[19]Yusuf Qaradhawi, al-Tatharufu al-‘Ilmani fi Muwajahati al-Islam, terj. Sekular Ekstrim, pent. Nabani Idris, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2000, hlm. 2.
[20]Nurcholis Madjid, Op.Cit., hlm. 244.
[21]Ibid., hlm. 245.
[22]Ibid., hlm. 244.
[23]M. Rasyidi, Empat Kuliah Agama pada Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 16.
[24]Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1996, hlm. 57.
[25]Yusuf Qaradhawi, Op.Cit., hlm. 8.
[26]Ibid.
[27]Roland Robertson, ed., Sociology of Religion, terj. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, pent. Achmad Fedyani Saifuddin, Rajawali Pers, 1993, hlm. 185.
[28]Yusuf Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, terj. Fiqih Daulah, pent. Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1999, hlm. 107.
[29]D. Hendro Puspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Jakarta, 1992, hlm. 139.
[30]Ibid.
[31]Ibid., hlm. 140.
[32]Roland Robertson, Op.Cit., hlm. 196.
[33]Adnin, Loc.Cit.
[34]Ibid.
[35]Ibid.
[36]Hilman Latief, Mendefinisikan Universalisme Islam Peta Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia tentang Peran Agama dalam Wilayah Publik, www.psap.or.id/jurnal.php, diakses tanggal 24 Februari 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar