Sabtu, 09 April 2011

KAFA’AH DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT MUSLIM
(SUATU KAJIAN SEJARAH SOSIAL)
A. Pendahuluan
            Perkawinan merupakan Sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Bagi manusia,  perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan meneruskan keturunan dan kelestarian hidup setelah masing-masing pasangan siap melakukan peran positif dalam mewujudkan tujuan dari perkawinan itu.
            Oleh karena itu Islam mengatur syarat-syarat dan rukun-rukun dalam perkawinan, bukan hanya menyangkut pada waktu proses akad nikah dan pasca akad nikah, tetapi juga mengenai hal-hal yang terjadi sebelum akad nikah, diantaranya bagaimana memilih calon pasangan dan standar-standar apa yang dipakai dalam menetapkan calon tersebut. Maka diantara problem yang akan muncul adalah tentang kesepadanan antara kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan yang dikenal dengan istilah kafa’ah.

B. Definisi Kafa’ah
            Kafa’ah secara etimologi berarti al-mumasalah dan al-musawah.[1] Sedangkan para fuqaha mendefinisikan kafa’ah adalah sebandingnya antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dinikahinya dalam beberapa hal (aspek) tertentu.[2]
            Hal serupa juga dikemukakan oleh Zakiah Daradjat bahwa yang dimaksud dengan kafa’ah adalah seimbang atau serasi, maksudnya keseimbangan dan keserasian antara calon isteri dan calon suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.[3] Lebih ditegaskan lagi oleh Ibrahim Muhammad al-Jamal bahwa kesamaan (kafa’ah) disini yakni kesamaan dalam tingkatan sosial, ilmiah, akhlak dan harta.[4]
            Dalam hal kafaah ini yang harus menyesuaikan diri dengan memerhatikan syarat kafa’ah menurut jumhur ulama adalah pihak laki-laki.[5] Artinya  bahwa seorang laki-laki harus terlebih dahulu melihat dirinya sendiri sebelum melamar seorang perempuan untuk dinikahinya, apakah wanita yang akan dinikahinya itu sama kedudukannya dengan dia atau tidak. Ditambahkan oleh jumhur bahwa seorang laki-laki tidak akan menjadi rendah derajatnya dikarenakan menikahi wanita yang mempunyai derajat sosial di bawahnya.

C. Pendapat Ulama tentang Kafa’ah dan Kriterianya
            Berdasarkan beragamnya petunjuk wahyu tentang kafa’ah[6], maka muncul beberapa pendapat yang berbeda di kalangan fuqaha. Namun di dalam literatur hukum Islam tidak ada penjelasan tentang munculnya perbedaan di kalangan ulama tentang kemestian adanya kesetaraan laki-laki dan wanita yang akan dinikahi diluar faktor agama.[7] Hal ini menekankan bahwa yang terpenting adalah sekufu dalam agama, dan semua ulama sepakat menyatakan bahwa pernikahan beda agama adalah batal.
            Namun mereka ikhtilaf dalam menetapkan beberapa kriteria lain diluar sekufu dalam agama dalam hal keturunan, status merdeka, kekayaan, profesi, dan tidak cacat fisik.
            Ibn Hazm sebagaimana yang dikutip oleh Sayyid Sabiq, berpendapat bahwa kafa’ah dalam perkawinan itu tidak ada selain agama[8], hal ini berdasarkan surat al-Hujurat ayat 10 dan surat an-Nisa’ ayat 3.
            Sementara itu ada yang berpendapat bahwa kafa’ah  yang mu’tabarah itu standarnya adalah keistiqomahan dalam menjalankan agama dan memiliki akhlak mulia. Pendapat ini didukung oleh para ulama Malikiyah.[9] Jadi sah-sah saja apabila seorang pria yang salih yang tidak memiliki garis keturunan terhormat menikahi seorang perempuan yang berasal dari keturunan yang terhormat, atau seorang pria dengan profesi yang rendah menikahi seorang wanita yang berkedudukan tinggi, pun juga seorang laki-laki yang fakir dengan wanita yang kaya, jika laki-laki tersebut adalah seorang muslim yang komit dengan keislamannya. Sebaliknya apabila seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang wanita yang tidak iltizam (komit) dengan agamanya, apalagi seorang yang fasik, maka dia tidak sekufu dengan wanita muslimah tersebut. Oleh karena itu jika walinya menikahkan dengan paksa kepada laki-laki sebagai disebut terakhir, ia (wanita) berhak untuk meminta fasakh kepada hakim.
            Dalam hal ini Ibn Rusyd mengatakan tidak ada perbedaan dalam mazhab (Malikiyah) tentang kasus seorang wanita yang dinikahkan ayahnya dengan seorang laki-laki tukang minum (pecandu minuman keras) atau secara umum dengan orang yang fasik,  yang mana wanita tersebut punya hak untuk tidak mau menikah dan hakim akan memisahkan keduanya setelah melihat perkara sebenarnya. Demikian halnya jika dia dinikahkan dengan orang yang hartanya didapat dari yang haram atau dengan orang yang suka bersumpah untuk bercerai.[10]




D. Kafa’ah dalam Sejarah Sosial Hukum Islam
            Tiap individu masyarakat mempunyai deskripsi dalam pikirannya akan bentuk ideal calon jodohnya. Deksripsi itu merupakan refleksi dari pandangan umum masyarakat di mana ia tinggal. Kemungkinan lingkup kelayakan personal (kafa’ah) dalam masyarakat itu berada dalam kerangka penggambaran (persepsi umum) masyarakat tersebut, tapi mungkin pula tidak.
            Pada masyarakat Arab pra Islam, tatanan masyarakat dibangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan (nasab), kekerabatan, dan ikatan etnis. Hal ini terus mengakar dan berlanjut sampai Islam datang.[11]
            Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah agama untuk semua manusia, membawa rahmat bagi seluruh alam. Islam tidak membedakan satu jenis manusia dengan manusia lainnya. Konsep egaliter Islami mengubah social equality (kesederajatan sosial) yang sangat dominan di tanah Arab, dengan konsep baru yang didasarkan pada kesederajatan dalam agama (religious equality).[12]
            Akan tetapi untuk sampai pada nilai ideal ini diperlukan tahapan-tahapan, dan ketika umat Islam masih berbenah diri atau pada fase awal tasyri’ Islami, pada masa ini budaya atau kultur masyarakat Arabia pra Islam, sedikit banyak memengaruhi wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah saw.
            Pada masa Arab pra Islam, soal sekufu tersebut telah melembaga dalam kehidupan sosial. Bagi laki-laki misalnya calon jodoh ideal adalah muda dan berasal dari keturunan luhur bangsa Arab. Amatlah tercela mengawinkan wanita Arab dengan laki-laki bukan Arab. Sedangkan bagi wanita jodoh yang ideal adalah laki-laki yang bersikap manis, lemah lembut dan bisa bergaul, murah hati dan berani, mulia tapi setia. Laki-laki itu mempunyai status sosial sederajat, baik dalam derajat kemuliaan maupun ketenarannya. Sebagai contoh anak-anak perempuan kabilah Quraisy hanya boleh menikah dengan pria yang mengikut  agama kabilah itu.[13]
            Struktur masyarakat dan keluarga Arab pra Islam tidak begitu berbeda dengan ketika Islam mereka anut. Stratifikasi (tingkatan-tingkatan) antara kabilah yang satu dengan yang lainnya tetap ada, dilihat dari ukuran kriteria sosial mereka. Sesuai dengan kriteria itu, maka ukuran tiap individu ditentukan oleh dasar kebajikan agamanya, yakni apakah mereka taat atau tidak terhadap nilai-nlai tradisional mereka. Bagi setiap muslim, nilai itu masih berlaku, hanya nilai ukurannya adalah takwa kepada Allah swt. Menurut sunnah Rasulullah saw, tataran teratas diukur dari tingkat kesalehan dalam agama. Tapi beliau sendiri dengan kebesarannya telah menikahi bekas budaj kabilah Quraisy. Pernikahan antara seseorang dari tataran atas dengan budak (tataran terbawah) mungkin sulit dipahami. Contoh yang diperlihatkan Nabi itu bukan semata-mata menonjolkan semangat egalitarian (semangat penonjolan asas persamaan secara politis maupun sosial) dari agama Islam. Tapi, Islam memang mengubah nilai kesederajatan sosial (social equality) dengan konsep baru yang didasarkan pada kesederajatan dalam agama (religious equality).
            Prinsip-prinsip baru dengan asas kesejahteraan dalam agama itu, tampaknya begitu saja bisa diterima oleh masyarakat Arab. Barang kali karena prinsip-prinsip itu sebetulnya merupakan kombinasi dari berbagai nilai atau faktor. Munculnya masyarakat Islam memberi teladan tentang pentingnya identitas agama. Nilainya hampir mirip dengan norma-norma solidaritas masyarakat Arab pra Islam. Dalam masyarakat itu, setiap anggota haruslah siap memberikan jasa pelayanan untuk kepentingan masyarakat itu. Tampaknya semangat yang selalu meningkatkan daya tahan masyarakat, meniadakan rasa mementingkan diri sendiri dan amat memerhatikan kepentingan umum. Rasulullah saw sebagai pemimpin masyarakat betul-betul hidup bersama secara efektif dengan masyarakat dalam menghadapi hambatan-hambatan sosial akibat garis keturunan, kekayaan dan ras.
            Dalam ajaran Islam, setiap laki-laki berhak dan dibenarkan menikahi wanita (dengan status apa pun), selama tidak merusak keutuhan agamanya. Jadi di sini nilai pengabdiannya bukan lagi kesederajatan sosial, akan tetapi agama. Seorang laki-laki bukan Islam tidak dibenarkan menikahi wanita muslim. Sebab keduanya tidak sekufu dalam agama. Juga tidak absah menurut hukum, seorang pelacur menikah dengan laki-laki muslim yang taat. Jika kesederajatan agama itu terpenuhi, maka pertimbangan lain menjadi masalah kedua. Inilah logika Alquran dan Sunnah Nabi asw berdasarkan penafsiran ahli hukum.[14]
            Beberapa ahli hukum lain mengabaikan pertimbangan kesederajatan sosial secara tradisional. Mereka menekankan nilai kejujuran  agama bagi para calon pengantin. Hal ini menunjukkan cahaya kondisi sosial di awal terbentuknya masyarakat Islam, juga agar tidak tampak konsepsi ganda. Hal itu bukan sekedar dipengaruhi oleh paham baru, yaitu agama Islam semata. Tapi justru untuk menjernihkan posisi Islam dalam masalah perkawinan. Keadaan seperti itu kian nampak selama abad pertama dan kedua masa pemerintahan Islam.
            Pembicaraan kafa’ah kembali mencuat di tubuh umat Islam ketika terjadi persintuhan kaum muslimin Arab dengan budaya masyarakat Kufah yang nota bene kultur dan budayanya berasal dari Persia. Jauh sebelum datangnya Islam, imperium Sasanit Persia telah memperkenalkan adanya kasta-kasta dalam masyarakat dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial, sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Hindu.[15]
            Dengan adanya interaksi yang terjadi antara kaum muslimin Arab – sebagai penakluk – dengan penduduk asli Kufah yang diberi gelar mawali, mau tidak mau akhirnya kaum muslimin Arab terpengaruh dan mengadopsi hal ini,  terutama dalam hal pernikahan. Akibatnya merebaklah pendapat tidak sekufunya wanita Arab dengan pria yang berasal dari suku non Arab. Inilah salah satu faktor mengapa Imam Abu Hanifah mempunyai perhatian yang khusus terhadap kafa’ah dalam perkawinan, bahkan mendukung doktrin kesederajatan sosial. Yang sangat mengherankan adalah beliau sendiri bukan keturunan Arab. Sehingga dapat dipastikan kondisi sosial di Kufah inilah, yang banyak memengaruhi ijtihad-ijtihadnya. Seperti yang dikatakan Reuben Levy, di sana terdapat kelas-kelas masyarakat yang sangat tajam, seperti kelas mawali, Arab, kelas budak, kelas Asyraf, dan lain-lain. Bahkan ada kelas sosial yang dipandang dari tempat tinggalnya, masyarakat kota lebih tinggi dari masyarakat desa. Dengan adanya kelas-kelas ini berdampak pada anggapan hinanya suatu pekerjaan.[16]
            Sebaliknya di masyarakat Madinah, masalah kafa’ah ini tidak begitu mencuat ke permukaan dan tidak sejalan dengan konsep hukum ulama Madinah, disebabkan jauhnya daerah ini dari pengaruh budaya Persia dan Romawi, disamping penduduknya masih didominasi Arab dan tidak banyak bercampur dengan non-Arab. Maka wajar saja apabila Imam Malik yang berada di Madinah kemudian berpendapat tidak mu’tabarnya kafa’ah dari segi keturunan, harta, kedudukan, maupun profesi dalam pernikahan.

D. Penutup
            Tidak diketahui secara pasti kapan istilah kafa’ah melembaga menjadi istilah hukum (fiqih). Tetapi hampir tak diragukan bahwa masalah yang substansinya hampir sama dengan kafa’ah ini telah ada pada masyarakat Arab pra Islam. Hanya saja dengan datangnya Islam, konsepsi kafa’ah mengalami formulasi yang sama sekali baru.
            Ukuran kesederajatan (kesekufuan) dalam bidang sosial tidak mendapat penekanan dalam Islam. Islam justru menekankan kemestian terhadap kesekufuan dalam bidang agama (kesalehan dan takwa), yang didasarkan kepada doktrin persamaan derajat manusia di hadapan Tuhan. Islam memang tidak menafikan secara mutlak kesederajatan sosial tersebut. Hal tersebut dapat diartikan bahwa Islam tetap memberi peluang terhadap adanya kriteria-kriteria sosial di maksud. Namun kata kesalehan dan ketakwaan mutlak menjadi kata kunci dalam melihat kesekufuan.





DAFTAR PUSTAKA
Wahbah al-Zuhayli, 1989, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz. VII, Dar al-Fikr, Damaskus.

Abd al-Rahman al-Jaziri, 1990, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, Beirut.

Zakiah Daradjat, 1995, Ilmu Fiqih, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.

Ibrahim Muhammad al-Jamal, 1991, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, terj. S. Ziyad Abbas, Fiqih Wanita Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta.

Sayyid Sabiq, 1411 H, Fiqih Sunnah, Juz. VII, al-Fath li al-I’lami al-‘Arabi, Mesir.

Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurtubi al-Andalusi, t.t.., Bidayat al-Mujtahid, Juz. II, Dar al-Fikr, Beirut.

Ira M. Lapidus, 2000, A History of Islamic Societes, terjemahan Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Ummat Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hammudah Abd al-‘Ati, 1984, The Family Structure of Islam, terj. Anshari Thayib, Keluarga Muslim, Bina Ilmu, Surabaya.

Noel J. Coulson, 1987, The History of Islamic Law, _P3M IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Reuben Levy, 1986, The Social Structure of Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta.



[1]Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Juz. VII, Dar al-Fikr, Damaskus, 1989, hal. 229.
[2]Ibid.  Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat dalam menjelaskan aspek-aspek tertentu itu. Hanafiyah menyebutkan ada enam macam, yaitu dalam hal keturunan, Islam, pekerjaan, merdeka, agama dan harta. Malikiyah menyebutkan hanya dalam dua hal yaitu muslim dan selamat dari ‘aib yang dapat mengakibatkan khiyar. Syafi’iyah menyebutkan pada empat aspek yaitu keturunan, agama, merdeka, pekerjaan. Sedangkan Hanabilah menyebutkan ada lima aspek yaitu agama, pekerjaan (keterampilan), kekayaan harta, merdeka, dan keturunan. Lihat Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, Beirut, 1990, hal. 53-59.
[3]Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hal. 73.
[4]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, terj. S. Ziyad Abbas, Fiqih Wanita Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1991, hal. 27.
[5]Wahbah al-Zuhayli, Op.Cit., hal. 230.
[6]Lihat Q.S. al-Baqarah ayat 221 dan Q.S. an-Nur ayat 3.
[7]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz. VII, al-Fath li al-I’lami al-‘Arabi, Mesir, 1411 H, hal. 240.
[8]Ibid.
[9]Ibid., hal. 241.
[10]Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurtubi al-Andalusi, Bidayat al-Mujtahid, Juz. II, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. 12.
[11]Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societes, terjemahan Ghufron A. Mas’adi, Sejarah Sosial Ummat Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 3.
[12]Hammudah Abd al-‘Ati, The Family Structure of Islam, terj. Anshari Thayib, Keluarga Muslim, Bina Ilmu, Surabaya, 1984,  hal. 107-108.
[13]Ibid., hal. 107.
[14]Ibid., hal. 109.
[15]Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, _P3M IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1987, hal. 40.
[16]Reuben Levy, The Social Structure of Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, hal. 65-75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar