Sabtu, 09 April 2011

UPAYA TRANSFORMASI HUKUM ISLAM
KEDALAM TATA HUKUM INDONESIA
Oleh : Nurul Hakim
ABSTRAK
Hukum Islam merupakan salah satu bahan baku bagi sistem hukum nasional disamping hukum adat dan hukum Barat. Oleh karena itu hukum Islam boleh dipakai sebagai bahan baku pembangunan perangkat, tatanan dan budaya hukum nasional asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dan sesuai dengan kebutuhan hukum rakyat Indonesia.
Tidak dapat dibantah dengan dalil apapun bahwa hukum Islam mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam pmbentukan dan penyusunan  hukum nasional Indonesia. Salah satu upaya untuk memasukkan hukum Islam ke dalam tata hukum nasional itu melalui transformasi.
Tulisan ini akan membahasa tentang upaya transformasi hukum Islam ke dalam tata hukum Indonesia.

Kata Kunci: transformasi, hukum Islam, tata hukum Indonesia

A.      Pendahuluan
Berbagai pengkajian tentang hukum Islam dalam konteks apapun dan dalam bentuk apapun, pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memahami kemudian mendeskripsikan serta menjelaskan berbagai dimensi dan substansi hukum Islam sebagai bagian dari kehidupan manusia yang dapat digali dari berbagai sumber yang mudah ditemukan.
Salah satu pendapat yang didapat melalui pengkajian itu adalah bahwa hukum Islam adalah hukum seperti yang dipahami oleh para fuqaha (fiqh) sepanjang masa.[1] Oleh karena itu hukum Islam sebenarnya dapat dikemas sebagai sesuatu yang dapat dikembangkan melalui interpretasi, yang sangat bermanfaat bagi pengembangan pengkajian serta pengetahuan yang bersifat ilmiah, maupun bagi pemahaman masalah hukum untuk dipedomani dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks Indonesia,  kehadiran Islam dan hukum Islam merupakan mata rantai yang tidak mungkin dipisahkan dari fakta historis lahirnya republik ini. Sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dimulailah era baru dalam tata hukum di bumi Nusantara ini yang memisahkan antara hukum kolonial dengan tata hukum nasional.  Menurut Ismail Saleh hingga saat ini Indonesia belum memiliki suatu sistem hukum yang bersifat nasional, dalam arti suatu sistem yang bulat, terpadu dan berakar kuat serta tumbuh dan berkembang dari sistem nilai dan norma dasar serta filsafat bangsa yang mengabdi kepada suatu kepentingan nasional.[2]
Namun timbul pertanyaan yang lebih pelik lagi untuk dijawab setelah didalami dan dikupas lebih dalam, apa hukum nasional itu? Jawabannya tidak mudah untuk menunjukkan bentuk yang matang. Sosok hukum nasional tidak mudah ditunjuk. Mungkin salah satu sebabnya adalah bahwa hukum nasional itu sendiri belum mengkristal menunjukkan sosok gerangan nyata yang dapat langsung dipakai.[3] Itulah sebabnya, maka terjadi perdebatan yang panjang dan melelahkan. Namun paling tidak ada “kesepakatan” bahwa hukum nasional itu  hukum yang bersumber dari tiga sumber: hukum modern atau internasional (yang asalnya Belanda), hukum adat atau kebiasaan, dan hukum agama, dalam hal ini Islam.[4]
Perjalanan waktu dalam bingkai historis mendeskripsikan bahwa mendefinisikan hukum nasional tidaklah mudah. Banyak terjadi kontradiksi dan kontroversi dalam mewujudkan hukum nasional tersebut. Bersandar seluruhnya kepada hukum adat tidak dikehendaki. Demikian pula tidak seluruhnya kepada hukum Islam.  Untuk yang terakhir ini ada bermacam-macam alasan dan proses yang menjauhkan Islam dari praktik formal.
Transformasi merupakan suatu usaha untuk mengadakan perubahan terhadap sesuatu yang telah ada menjadi sesuatu yang baru, antara lain dengan penyesuaian dan perubahan. Dalam bidang hukum, transformasi sering dipakai dalam arti penyesuaian hukum dengan kebutuhan masyarakat. Proses atau upaya transformasi hukum Islam[5] ke dalam tata hukum nasional dimaksudkan sebagai usaha menerapkan hukum Islam yang normatif[6] menjadi hukum Islam yang positif[7] atau yang sering disebut usaha positifisme hukum Islam ke dalam tata hukum Indonesia.
Kenyataan hukum menggambarkan bahwa setelah Indonesia merdeka dan karena dorongan kesadaran hukum sewaktu dalam masa penjajahan dan dalam masa revolusi, diperjuangkan wujud hukum Islam (hukum agama) ada dalam hukum nasional.[8] Hal ini merupakan perwujudan dari sikap kritis bahwa Indonesia tidak akan mengikuti begitu saja hukum penjajah atau hukum Eropa.  Namun dalam aspek lain, formalisasi  hukum agama menjadi tema yang tidak disepakati oleh mayoritas bangsa Indonesia. Formalisasi hukum Islam tentu berbeda dengan adopsi nilai-nilai yang bersumber dari agama Islam.[9]
Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana hukum Islam ditransformasikan menjadi hukum nasional, dengan menggunakan dua pendekatan (approach), yaitu pendekatan historis proses transformasi tersebut terjadi sampai zaman kemerdekaan, dan pendekatan politik kebijaksaan pemerintah Republik Indonesia setelah kemerdekaan sampai sekarang.


B.       Arti Hukum Islam
Ada beberapa istilah kunci yang tetap muncul ketika membicarakan hukum Islam, yakni syari’at, fiqh, qanun, fatwa, qadha, siyasah syar’iyah dan hukum.[10] Hukum Islam pada hakikatnya adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.[11] Mengingat pentingnya peristilahan ini, setiap orang dan kelompok cenderung memahaminya sesuai dengan kerangka pikirnya masing-masing.
Kata hukum Islam sebenarnya tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran, namun yang ada dalam Alquran adalah kata syari’at, fiqh, hukm dan yang seakar dengannya. Dalam literatur Barat, hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law”.[12]
Secara harfiah kata syari’ah dalam bahasa Arab berarti jalan yang lurus.[13] Menurut Abu Aal-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, perkataan syariah berarti sesuatu yang terbentang jalan kepadanya.[14]
Menurut ijma’ ulama syari’at ialah hukum-hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-Nya, yang dibawa oleh salah seorang Nabi-Nya yaitu Muhammad saw, baik hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara mengadakan perbuatan yaitu yang disebut sebagai “hukum-hukum cabang amalan”, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu fiqih atau berhubungan dengan cara mengadakan kepercayaan (i’tikad), yaitu yang disebut dengan hukum-hukum pokok” dan kepercayaan, dan untuknya maka dihimpunlah ilmu kalam. Syari’at (Syara’) disebut juga agama (al-din dan millah).[15]

 Menurut  Manna’ al-Qaththan sebagaimana yang dikutip oleh Fathurrahman Djamil syari’at adalah segala ketentuan Allah swt yang disyari’atkan kepada hamba-Nya baik menyangkut akidah, akhlak maupun mu’amalah.[16]
Istilah syariah sebenarnya mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih dan hukum, tetapi mencakup pula akidah dan akhlak.[17] Dengan demikian syariah mengandung arti bertauhid kepada Allah, menaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari pembalasan. Singkatnya syariah mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi berserah diri kepada Tuhan (Muslim).[18]
Menurut pendapat al-Amidi fiqh ialah ilmu tentang seperangkat hukum syara’ yang bersifat furu’iyah (cabang) yang didapatkan melalui penalaran atau penelitian dan istidlal.[19]
Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan kepada pemikiran dan perenungan. Oleh karena itu Tuhan tidak bisa disebut sebagai faqih (ahli dalam fiqih), karena bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas.[20]
Dengan demikian fiqih bukanlah syari’at, melainkan produk atau hasil dari syari’at itu sendiri yang digali para mujtahid (orang yang melakukan penelitian terhadap dalil baik itu Alquran maupun hadis). Ia hanya membicarakan amaliyah furu’iyah yang didasarkan pada dalil-dalil terperinci. Dalil yang digali itu sifatnya zhanny (dapat diinterpretasikan) bukan qath’iy (yang tidak dapat diinterpretasikan).
Penerapan fikih ini dalam kehidupan sehari-hari bisa dalam bentuk fatwa ketika warga Muslim mempertanyakan ketentuan sesuatu hal kepada tokoh yang dianggap paling tahu fikih, yang dikenal dengan nama mufti. Fatwa lebih merupakan upaya sukarela masyarakat untuk menerapkan panduan Ilahi dalam mengatur tindak-tanduk mereka, dan oleh karenanya ia lebih merefleksikan kondisi riil masyarakat.[21]
Mohammad Daud Ali mengatakan bahwa kalimat hukum yang dipakai dalam bahasa Indonesia saat ini berasal dari kata hukm ( ﺤﻛﻢ) yang artinya norma atau kaidah ; ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda.[22] Kata ha-ka-ma dalam bahasa Arab dapat juga dimaknai dengan mencegah atau menolak. Mencegah ketidakadilan, kezaliman dan penganiayaan disebut hukum.[23]
            Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.[24]
            Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Alquran, dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkritkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul.
            Ada dua kategori hukum yang lahir dari perintah Allah, yakni wajib dan sunnah, sedangkan firman dalam bentuk larangan melahirkan hukum haram dan makruh. Adapun firman Allah yang memberi  keluasan bagi manusia dalam menentukan pilihan antara berbuat dan tidak, dikategorikan mubah (boleh), yang berindikasi boleh dilakukan dan boleh juga ditinggalkan, sehingga terkesan tak ada tuntutan di dalamnya.[25]


C.      Sejarah Proses Penerimaan Hukum Islam di Indonesia
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak dengan fakta yang ada, bahwa sejak berabad-abad lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup (establish) di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini.[26] Hukum Islam masuk ke Indonesia seiring dengan masuknya Islam ke negeri ini pada abad ke-13 Masehi atau pendapat lain mengatakan pada abad I Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan Masehi.[27]
Kehadiran Islam di Indonesia tidaklah menghadapi masyarakat yang steril atau vakum agama atau kepercayaan. Masyarakat Indonesia telah menganut berbagai bentuk kepercayaan lokal yang berwujud paham menekankan roh (animisme) dan adanya kekuatan di alam semesta (dinamisme).
Selain itu, dua agama besar dari India yaitu Hindu dan Budha telah terlebih dulu tertanam dalam masyarakat. Pendekatan kedua agama ini dan kepercayaan-kepercayaan lokal yang ada pada dasarnya sangat menekankan pengayaan spritual. Oleh karena itu kehadiran Islam pun harus menyesuaikan langgam penyiarannya dengan pengayaan spritual itu. Untuk itu, penyebaran agama Islam dilalui dengan proses olah rasa dengan menerapkan tiga alternatif pendekatan yaitu adaptasi, akomodasi, dan seleksi.[28]
Daerah yang pertama kali yang dimasuki oleh Islam adalah pesisir Utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara.[29] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah pendatang Muslim.
Berdasarkan riwayat sejarah yang ada, pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini dimasa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Masih dapat dilihat dan terlacak dengan baik jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam pada masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar, serta Ternate dan Tidore. Termasuk juga didalamnya di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa.
Dalam proses penyebaran agama Islam di kepulauan Nusantara, jasa para saudagar melalui metode bisnis dan perkawinan, tidak dapat diabaikan.  Kedatangan mereka selain karena kepentingan bisnis juga untuk menyebarluaskan Islam di tempat yang mereka singgahi. Hal ini misalnya terlihat ketika seorang saudagar hendak menikah dengan seorang pribumi, maka wanita pribumi itu di Islamkan agamanya lebih dahulu dan pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan agama Islam.[30] Dengan demikian proses Islamisasi penduduk pribumi di Nusantara lebih banyak karena faktor perkawinan yang muaranya adalah terjadi asimilasi budaya.
Angin perubahan mulai bertiup kala Belanda mulai menancapkan kekuatan dan kekuasaannya di Indonesia. Ismail Sunny membagi periodesasi sejarah hukum Islam pada masa Belanda kepada dua periode, yaitu periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya ( teori receptie in complexu) dan periode penerimaan hukum Islam, jika diterima hukum adat (teori receptie).
Fase penerimaan hukum Islam sepenuhnya dimulai pada masa kesultanan-kesultanan Islam berlanjut sampai pada zaman datangnya Vereenigde Ost Compagnie (VOC) tahun 1602 dan berakhir pada tahun 1885. Sedangkan Bustanul Arifin dalam bukunya Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia memberi batasan periode ini sampai 1 April 1937.[31]
 Kedatangan VOC tidaklah mengganggu kemapanan hukum Islam. Bahkan VOC mengakui keberadaan hukum Islam dan berusaha membukukan hukum Islam ke dalam berbagai kumpulan hukum untuk kepentingan penduduk bumiputera di wilayah yang mereka kuasai.[32] Misalnya VOC menerapkan hukum kekeluargaan dalam bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering yang merupakan kumpulan aturan perkawinan dan kewarisan yang terkenal dengan nama Compendium Freijer. Inilah yang diberi dasar hukumnya dengan Regering Reglement (RR) tersebut. Antara lain dalam Pasal 75 RR dinyatakan: “oleh hakim Indonesia itu hendaklah diperlakukan Undang-undang Agama (goodsdiente wetter)...”.[33]
Pada masa-masa kedatangannya VOC hanyalah sebuah perusahaan dagang yang mempunyai hak istimewa dari pemerintah Belanda yang menganut kebijakan non-interferenci (tidak campur tangan) dalam masalah agama dan kekeluargaan penduduk pribumi.[34] Keadaan yang demikian dapat dilihat dari kebijakan Hindia Belanda dalam Statuta Batavia (1862) yang menyatakan bahwa hukum dan pranata yang ada supaya dibiarkan berlaku terus, termasuk didalamnya hukum dan kelembagaan Islam. Kemudian disusun secara lebih sistematis sesuai dengan tradisi Belanda yang disebut dengan Compendium Freijer yang memuat aturan-aturan hukum perkawinan dan kewarisan sesuai dengan hukum Islam versi mazhab Syafi’i.
Kebebasan yang diberikan kepada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam berakhir ketika Kerajaan Belanda mengambilalih kekuasaan dari VOC sekitar abad ke-18.[35]
            Fase kedua penerimaan hukum Islam jika diterima oleh hukum adat (teori receptie).[36] Dasar hukum pemakaian teori ini adalah Wet op de Staatsinrichting van Nederland Indie (IS)[37] tahun 1929 dalam Stb. 212, yang berusaha menghapuskan hukum Islam dari tata hukum Belanda.[38] Menurut teori ini, hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia bukanlah hukum Islam, melainkan hukum adat. Atau dengan kata lain teori receptie, yang membatasi bahwa hukum Islam baru dinyatakan dan disebut berlaku jika ia telah masuk/meresap dan diterima oleh dan sebagai hukum adat dalam masyarakat.[39]
            Teori resepsi sebagai suatu teori yang mempersempit ruang gerak berlakunya hukum Islam di Indonesia, yang oleh sebagian ahli hukum Indonesia menyebutnya sebagai teori iblis,[40] dimunculkan, digagas oleh hasil pikir dari seorang Snouck Hurgronje. 
            Padahal sebelum Snouck Hurgronje berpetualang di Indonesia tahun 1889, dan menjadi penasihat urusan pribumi dan Islam pemerintah Hindia Belanda, para ilmuan, politikus, dan penguasa pemerintah Belanda menganut satu paham dan keyakinan melalui penelitian yang mereka lakukan tentunya, bahwa sisi hukum yang mengatur tertib masyarakat adalah hukum agama. Maka bagi orang Islam Indonesia berlaku hukum Islam oleh karena mereka telah memeluk agama Islam yang oleh Lodewijk William Christian van den Berg kemudian memberi nama dengan sebutan untuknya dengan teori receptie in complexu.
            Namun setelah Snouck Hurgronje berada di Indonesia dengan tugas penelitian terhadap suku Aceh dan Islam di Jawa, ia kemudian mengkritik teori van den Berg tersebut dan mengemukakan pendapat dan buah pikirannya yang berbeda yaitu yang ia sebut dengan theorie receptie artinya bahwa hukum yang mengatur tertib masyarakat di Indonesia adalah hukum adat asli,  sedang hukum agama (Islam) hanya berlaku pada sebahagian kecil yang telah diterima, meresap dan sesuai dengan hukum adat. Atau dengan istilah yang oleh Mohammad Daud Ali bahwa teori resepsi adalah teori yang menyatakan hukum Islam bukan hukum kalau belum diterima ke dalam dan oleh hukum adat.[41]
            Oleh karena itulah dalam Pasal 124 ayat (2) IS tahun 1929 disebutkan: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dalam satu ordonansi”.
            Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816), pihak Belanda berusaha keras mencengkeram kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun hal itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb.[42]          
            Itulah sebabnya pemerintah Belanda selalu mengupayakan segala cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Cara-cara yang dilakukan pemerintah Belanda antara lain dengan:
  1. Menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi;
  2. Membatasi keberlakuan hukum Islam hanya kepada aspek-aspek batiniah (spritual) saja.[43]
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

D.      Kebijakan Politik Hukum Indonesia Bagi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia
            Dalam kajian ilmu hukum, ada yang disebut hukum positif (ius constituendum) dan hukum yang dicita-citakan (ius constitutum).[44] Hukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini di suatu negara. Hukum yang dicita-citakan yaitu hukum yang hidup di masyarakat, tetapi belum menjadi hukum positif secara legal formal.
            Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.
            Fakta sejarah perjalanan hukum di Indonesia mendeskripsikan, bahwa kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi.  Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia masa lalu, masa kini, dan masa datang, menegaskan bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis.[45]
            Dalam konteks Indonesia, eksistensi hukum Islam dalam tataran aplikatif menjadi hukum positif (ius  constituendum) hanya yang berkaitan dengan hukum privat yaitu ubudiah dan muamalah.[46] Sedangkan yang berkaitan dengan hukum publik Islam sampai hari ini masih menjadi hukum yang dicita-citakan. Ironis jika dilihat dari aspek manapun, bahwa sesuatu yang bersifat publik keberlakuannya malah tidak dilegislasi tetapi yang berkaitan dengan masalah privat justeru dijadikan hukum positif.
            Walaupun begitu, seluruh upaya untuk lebih menerapkan hukum Islam di Indonesia patut diapresiasi dengan baik, ditengah berbagai halangan dan tantangan yang datang dari segala penjuru menolak eksistensi hukum Islam ke arah kodifikasi, unifikasi, kompilasi, unifikasi hukum Islam ke dalam hukum positif.
            Pada dasarnya implementasi hukum Islam di Indonesia dapat dilaksanakan melalui dua jalur. Pertama dengan jalur iman dan takwa. Artinya pemeluk agama Islam melaksanakan hukum Islam secara pribadi sesuai dengan kualitas keimanan dan ketakwaannya. Pelaksanaan hukum Islam melalui jalur ini dijamin oleh negara sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
            Jalur kedua melalui perundang-undangan dalam berbagai undang-undang dan peraturan lainnya. Jaih Mubarok mengemukakan sebagaimana yang dikutip oleh Ali Imron HS bahwa salah satu bentuk pemikiran hukum Islam adalah qanun atau peraturan perundang-undangan.[47] Penetrasi hukum Islam ke dalam peraturan perundangan di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua model, yaitu pertama, penetrasi hukum Islam ke dalam peraturan perundangan secara substantif dan tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai hukum Islam.[48]
            Model pertama ini jelas-jelas  tidak menggunakan label Islam sama sekali. Sebagaimana halnya hukum nasional secara umum yaitu bersifat netral, dengan definisi yang sangat vulgar tidak menunjukkan khas agama dan identitas kelompok tertentu. Dengan kondisi seperti ini, maka bagi orang-orang yang sering terlena dengan embel-embel atau berbagai macam lebel yang antiagama, serta orang yang sulit mengetahui esensi sesuatu, maka akan ada sangkaan bahwa hukum itu adalah hukum nasional bukan hukum Islam.
            Hal ini terjadi karena keberadaan hukum Islam itu hanya dalam bentuk ide, bukan dalam bentuk istilah-istilah dalam format penyajian umum yang dikenal dalam kitab-kitab kuning.[49] Inilah yang kemudian dikenal dengan Islam substantif. Artinya Islam yang lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat subtansial, dan tidak terjebak dalam hal-hal yang simbolis.[50]
            Keberadaan hukum Islam seperti ini tidak ditampilkan dalam spanduk-spanduk dan propaganda belaka meskipun esensinya ada. Hukum Islam dalam bentuk ini telah mengalami modifikasi dalam bentuk netral, karena telah terserap dalam hukum nasional secara umum.[51] Hal yang terpenting adalah esensi ajaran Islam tetap diamalkan sebagaimana mestinya.
            Banyak contoh peraturan perundangan secara substantif dan tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai hukum Islam, misalnya UU No. Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang banyak mengambil hukum Islam secara substantif. Ada lagi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. PP No. 70 dan No.72/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
            Model kedua, penetrasi hukum Islam ke dalam peraturan perundangan yang secara eksplisit dinyatakan sebagai hukum Islam.[52]           Melalui jalur ini banyak sekali hukum Islam yang telah diakomodir oleh negara. Antara lain UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atasa UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No.17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
            Fenomena tersebut tidak terlepas dari adanya kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa mayoritas muslim ingin semakin menegaskan jati diri sejelas mungkin dalam arti kekuasaan politik serta aspirasi pembentukan dan penerapan hukum yang didasarkan dan bersumber pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam.[53]
            Implementasi hukum Islam di Indonesia secara universal sebenarnya telah terakomodir dan terlaksana dengan baik, meskipun masih terbatas dalam masalah hukum privat. Munculnya beberapa peraturan perundang-undangan seperti di atas, mendeskripsikan bahwa hukum Islam eksis di negeri ini. Meskipun dalam praktiknya selama ini terjadi kompromi atau tarik ulur antara hukum Islam yang dianggap mewakili umat Islam beserta tokohnya dan hukum sekuler yang dianggap mewakili pemerintah.
            Proses tarik ulur atau kompromi seperti ini, dalam sejarah Islam dikenal dengan konsep qanun, yaitu legislasi hukum Islam oleh negara atau pemerintah namun lebih terdominasi oleh pertimbangan siyasah shar’iyyah (politik hukum atau penentuan hukum dengan pertimbangan faktor politik).[54] Konsep dasar siyasah shar’iyyah dibuat untuk melakukan kebijakan yang menghendaki kemaslahatan melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama.
            Walaupun demikian yang terjadi, tapi terlihat dengan jelas dan kasat mata bahwa syariat Islam, hukum Islam maupun fikih Islam adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dengan segala potensi konflik di dalamnya, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku.
            Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional.
            Fakta historis terbentuknya hukum nasional Indonesia juga memberikan deskripsi bahwa hukum Islam merupakan salah satu elemen penting pendukung disamping hukum adat dan hukum Barat. Hukum Islam telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
            Pembentukan hukum nasional merupakan suatu proses perubahan bentuk dari hukum tidak tertulis menjadi hukum yang tertulis. Namun demikian hukum tidak tertulis juga merupakan bagian dari hukum nasional. Oleh karena itulah bentuk hukum tertulis tertentu diunifikasikan, utamanya dalam bentuk hukum yang relatif netral, sedangkan hukum yang sifatnya sensitif (erat kaitannya dengan keyakinan/akidah masyarakat) usaha untuk mempositifkannya masih mengandung permasalahan besar.
            Berkaitan dengan hal itu, maka pengembangan hukum Islam di bidang hukum keluarga merupakan upaya unifikasi  secara khusus bagi orang Islam, seperti yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang merupakan buah unifikasi dari keanekaragaman hukum Islam dari pemikiran fuqaha di pelbagai kitab fiqh.
            Transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional terjadi dalam berbagai peraturan perundang-undangan, terutama hukum perdata. Kemudian proses transformasi hukum Islam dilakukan dengan memasukkan asas-asas hukum Islam ke dalam hukum nasional. Transformasi asas-asas tersebut tanpa menggunakan label hukum Islam, tetapi diserap dalam hukum nasional.
            Transformasi hukum Islam dalam pembentukan hukum nasional juga dilakukan dalam bentuk produk pengadilan, baik melalui pengadilan agama maupun pengadilan umum.[55]
            Transformasi hukum Islam sebagai salah satu tatanan hukum ke dalam hukum nasional, secara umum, terakomodasi dalam sasaran pembangunan nasional di bidang hukum khususnya tentang materi hukum nasional. Namun penerapan dan penegakan hukum dalam masyarakat tergantung kepada empat unsur, yaitu:
                Pertama, perangkat hukum yang menjamin kepastian, perlindungan, dan keterttiban hukum yang intinya keadilan dan kebenaran.
            Kedua, aparatur penegak hukum yang tanggung menerapkan hukum dan menyelami rasa hukum dan keadilan.
            Ketiga, kesadaran hukum masyarakat yang intinya menghargai dan mematuhi hukum yang berlaku.
            Keempat, sarana dan prasarana yang dibutuhkan baik berupa kelembagaan maupun fisik.[56]
           

E.       Penutup
Transformasi hukum Islam jika dilakukan secara substantif, tidak akan dapat dilepaskan dan harus didahului oleh referensi hsitoris dengan pertimbangan konstitusional dan sejarah bangsa. Proses tersebut tidak terlepas dari perjalanan sejarah hukum Islam di Indonesia, dan kebijaksanaan politik hukum Indonesia dalam menempatkan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum nasional.
Hal ini dapat dilihat dari munculnya beberapa undang-undang yang bernuansa Islam, seperti UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, KHI, UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No.17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.






Daftar Pustaka

A.      Buku-buku:
         
A Wasit Aulawi. 1996. Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam Amarullah Ahmad (ed.). Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press.

A. Qodri Azizy. 2004.  Hukum Nasional Eklektisisime Hukum Islam & Hukum Umum. Edisis Revisi. Jakarta: Teraju.

A.      Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad. 2006. Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum  Indonesia. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Affan Su’aidi. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda Kajian Historis Terhadap Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia dalam  Fuji Rahmadi P (editor). 2009. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Menggugat Kemapaman Tradisi. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Ahmad Hanafi. 1989. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Ahmad Taqwim. 2009. Hukum Islam Dalam Perspektif Pemikiran Rasional, Tradisional, dan Fundamental. Semarang: Walisongo Press.

 Al-Din al-Amidi, Shaif. 1958. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo: Muassasah al-Halabi.

Al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah, Abu. 1979. Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz III. Ttp: Dar al-Fikr li al-Taba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi.

Ali al-Sais, Muhammad. 1970. Nasy’at al-Fiqh al-Ijtihadiy wa Athwaruh. Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah..

Ali Imron HS. 2009. Pertanggungjawaban Hukum Konsep Hukum Islam dan Relevansinya Dengan Cita Hukum Nasional Indonesia. Semarang: Walisongo Press.

Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Bustanul Arifin. 1996. Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press.

Cik Hasan Bisri. 1998. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Faisar Ananda Arfa. “Syariat Islam Yang Mana?” Pertanyaan Bagi Penerapan Syariat Islam  Di Indonesia dalam Muhammad Iqbal, Azhari Akmal Tarigan (Editor). 2004. Syariat Islam di Indonesia Aktualisasi Ajaran dalam Dimensi Ekonomi, Politik, dan Hukum.  Jakarta: CV Misaka Galiza.

Hafizh Dasuki. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Hamka Haq. 2009. Islam Rahmah Untuk Bangsa. Jakarat: RMBOOKS.

Ibn Sa’ad ‘Ali Dhurayh, Sa’ud. 1973. Al-Tanzhim al-Qadha’i fi al-Mamlakah al-‘Arabiyah. Riyadh: Matabi’ Hanifah li al-Ubset.

Ismail Sunny. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dalam Amrullah Ahmad (editor). 1996. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press.

Juhaya S. Praja. 1994. Hukum Islam Di Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Sinar Grafika.

Mohammad Daud Ali. 2000. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 Muslehuddin, Muhammad. Tth. Philosophy of Islamic Law and The Orientalist. Lahore: Islamic Publucation L.T.D, Shah Alam Market.

Nur A. Fadhil Lubis. 1995. Hukum Islam. Medan: Pustaka Widyasaran.

Ramly Hutabarat. 2005. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia.

Saidus Syahar. 1996. Asas-Asas Hukum Islam. Bandung: Alumni.

Sajuti Thalib. 1985.  Receptio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara.  

Schacht, Joseph. 1985. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI.
Zuffran Sabrie (ed.). 1990. Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila. Jakarta: Antara.

Zulfikar. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia dalam Fuji Rahmadi (Editor). 2009. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Menggugat Kemapaman Tradisionalisme. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

B.       Makalah:
M. Ridwan Lubis. 1995. Setengah Abad Proses Transformasi Pemikiran Islam Di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Refleksi 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara pada tanggal 14 Oktober 1995.
Nur A. Fadhil Lubis. Transformasi Hukum Islam Di Indonesia Suatu Refleksi. Makalah disampaikan dalam Seminar Refleksi 50 Tahun Indonesia Merdeka yang Diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Medan tanggal 14 Oktober 1995.
Rifyal Ka’bah. 2007. Kodifikasi Hukum Islam Melalui Undang-Undang Negara Di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Kerja Sama Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Dengan Mahkamah Agung RI tanggal 27 Oktober 2007.

C.      Jurnal, Surat Kabar:
Ismail Saleh. “Wawasan Pembangunan Hukum Nasional”. Kompas, edisi 1 dan 2 Juni 1989.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Masalahnya di Indonesia, dalam Mimbar Hukum No.31 Tahun VIII 1997, Yayasan al-Hikmah, Jakarta.
D.      Website/Situs Internet:
Muhammad Ikhsan, “Hukum Islam Di Indonesia: Dulu Dan Sekarang”, www.abulmiqdad.multiply.com/journal/item/13., diakses tanggal 10 Juni 2010.
Reza Fikri Febriansyah. “Eksistensi Hukum Islam Dalam Struktur Hukum Nasional Indonesia”. www.legalitas.org., diakses tanggal 21 September 2008.
Yusril Ihza Mahendra. “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia.”  www.yusril.ihzamahendra.com. Diakses tanggal 29 Maret 2009.























Bio Data Singkat Penulis
     Nama                     : Nurul Hakim, S.Ag., MA
     Tempat/Tgl Lahir   : Medan/ 6 Maret 1976
     Pekerjaan               : Dosen Tetap Fak. Hukum UMSU
     Alamat                   : Jl. Bromo Gang Setia Kawan I No. 10 Medan
     HP/Telp                  : 081260573284/061-7353943
     Pendidikan             : Pascasarjana IAIN SU Medan Program Studi Hukum                                   Islam
           

           
           
           




                [1]Rifyal Ka’bah. 2007. Kodifikasi Hukum Islam Melalui Undang-Undang Negara Di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Kerja Sama Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Dengan Mahkamah Agung RI tanggal 27 Oktober 2007. hlm. 1.
                [2]Ismail Saleh. “Wawasan Pembangunan Hukum Nasional”. Kompas, edisi 1 dan 2 Juni 1989. Lihat juga dalam Zuffran Sabrie (ed.). 1990. Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila. Jakarta: Antara. hlm. 124-131.
                [3]A. Qodri Azizy. 2004.  Hukum Nasional Eklektisisime Hukum Islam & Hukum Umum. Edisis Revisi. Jakarta: Teraju. hlm. 2.
                [4]Ibid. hlm. 3.
                [5]Hukum Islam yang dimaksud adalah hukum yang diyakini memiliki keterkaitan dengan sumber ajaran Islam, yaitu hukum yang sifatnya amaliyah berupa interaksi sesama manusia. Artinya hukum itu bukanlah yang mengatur tentang ibadah mahdhah. A Wasit Aulawi. Sejarah Perkembangan Hukum Islam, dalam Amarullah Ahmad (ed.). 1996. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 53.
                [6]Hukum yang diamalkan secara pribadi oleh umat Islam tanpa campur tangan pemerintah.
                [7]Hukum yang telah diberlakukan oleh pemerintah pada waktu dan wilayah tertentu.
                [8]Ahmad Taqwim. 2009. Hukum Islam Dalam Perspektif Pemikiran Rasional, Tradisional, dan Fundamental. Semarang: Walisongo Press. hlm. 93.
                [9] A. Qodri Azizy. Loc.Cit.
                [10]Nur A. Fadhil Lubis. Transformasi Hukum Islam Di Indonesia Suatu Refleksi. Makalah disampaikan dalam Seminar Refleksi 50 Tahun Indonesia Merdeka yang Diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Medan tanggal 14 Oktober 1995. hlm. 2.
                [11]Mohammad Daud Ali. 2000. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hlm. 38.
                [12]Fathurrahman Djamil. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. hlm. 11.  Joseph Schacht mengatakan bahwa hukum Islam adalah lambang pemikiran Islam, manifestasi paling khusus dari pandangan hidup Islam, inti dan titik sentral dari Islam itu sendiri. Joseph Schacht. 1985. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI. hlm. 1. Bandingkan dengan Muhammad Muslehuddin. Tth. Philosophy of Islamic Law and The Orientalist. Lahore: Islamic Publucation L.T.D, Shah Alam Market. hlm. 55. Dalam buku itu dijelaskan bahwa hukum Islam itu identik dengan syari’at itu sendiri.
                [13]Muhammad Ali al-Sais. 1970. Nasy’at al-Fiqh al-Ijtihadiy wa Athwaruh. Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah. hlm. 8-9.
                [14]Abu Al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah. 1979. Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz III. Ttp: Dar al-Fikr li al-Taba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi. hlm. 262.
                [15]Ahmad Hanafi. 1989. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. hlm.  9.
                [16]Fathurrahman Djamil. Op.Cit. hlm.  7.
                [17]Hamka Haq. 2009. Islam Rahmah Untuk Bangsa. Jakarat: RMBOOKS. hlm. 41.
                [18]Sa’ud ibn Sa’ad ‘Ali Dhurayh. 1973. Al-Tanzhim al-Qadha’i fi al-Mamlakah al-‘Arabiyah. Riyadh: Matabi’ Hanifah li al-Ubset. hlm. 23.
                [19]Shaif al-Din al-Amidi. 1958. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo: Muassasah al-Halabi. hlm. 8.
                [20]Ahmad Hanafi. Op.Cit. hlm. 10.
                [21]Nur. A Fadhil Lubis. Loc.Cit.
                [22] Mohammad Daud Ali. Op.Cit. hlm. 39-40.
                [23] Abu Al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyah. Op.Cit. hlm. 91.
                [24] Hafizh Dasuki. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. hlm. 571.
                [25]Hamka Haq. Op.Cit. hlm. 44.
                [26]Yusril Ihza Mahendra. “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia.”  www.yusril.ihzamahendra.com. Diakses tanggal 29 Maret 2009.
                [27] Mohammad Daud Ali. Op.Cit.  hlm.  231.
                [28]M. Ridwan Lubis. 1995. Setengah Abad Proses Transformasi Pemikiran Islam Di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Refleksi 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara pada tanggal 14 Oktober 1995. hlm. 1.
                [29]Ramly Hutabarat. 2005. Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia. hlm.61. Bandingkan dengan Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina. hlm. 21.
                [30]Affan Su’aidi. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda Kajian Historis Terhadap Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia dalam  Fuji Rahmadi P (editor). 2009. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Menggugat Kemapaman Tradisi. Bandung: Citapustaka Media Perintis. hlm. 5-6.
                [31]Bustanul Arifin. 1996. Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 35.
                [32]Ibid. hlm. 7.
                [33]Ismail Sunny. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dalam Amrullah Ahmad (editor). 1996. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 131.
                [34] Nur A. Fadhil Lubis. 1995. Hukum Islam. Medan: Pustaka Widyasarana. hlm. 79-80.
                [35]Saidus Syahar. 1996. Asas-Asas Hukum Islam. Bandung: Alumni. hlm. 133.
                [36]Juhaya S. Praja. 1994. Hukum Islam Di Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. hlm. 11.
                [37]Back ground dimunculkannya IS ini adalah sebagai usaha Belanda untuk meredam pemberontakan-pemberontakan umat Islam waktu itu, seperti perlawanan di Kamang Sumatera Barat (berakhir tahun 1908), Perang Aceh (berakhir tahun 1903). Lihat Saidus Sahar. Op.Cit. hlm. 134.
                [38]Ibid.
                [39] Sajuti Thalib. 1985.  Receptio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara.  hlm. 13.
                [40]Disebut sebagai teori iblis karena mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Lihat Mohammad Daud Ali, Op.Cit., hlm. 220.

                [41]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Masalahnya di Indonesia, dalam Mimbar Hukum No.31 Tahun VIII 1997, Yayasan al-Hikmah, Jakarta. Halaman. 8
                [42]Muhammad Ikhsan, “Hukum Islam Di Indonesia: Dulu Dan Sekarang”, www.abulmiqdad.multiply.com/journal/item/13., diakses tanggal 10 Juni 2010.
                [43] Ramly Hutabarat. Op.Cit. hlm. 67-68.
                [44]A. Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad. 2006. Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum  Indonesia. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. hlm. 95.
                [45] Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Sinar Grafika. hlm. 5.
                [46] A. Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad. Loc.Cit.
                [47]Ali Imron HS. 2009. Pertanggungjawaban Hukum Konsep Hukum Islam dan Relevansinya Dengan Cita Hukum Nasional Indonesia. Semarang: Walisongo Press. hlm. 68.
                [48] Ibid. hlm. 68-69.
                [49]Zulfikar. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia dalam Fuji Rahmadi (Editor). 2009. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Menggugat Kemapaman Tradisionalisme. Bandung: Citapustaka Media Perintis. hlm. 185.
                [50]Faisar Ananda Arfa. “Syariat Islam Yang Mana?” Pertanyaan Bagi Penerapan Syariat Islam  Di Indonesia dalam Muhammad Iqbal, Azhari Akmal Tarigan (Editor). 2004. Syariat Islam di Indonesia Aktualisasi Ajaran dalam Dimensi Ekonomi, Politik, dan Hukum.  Jakarta: CV Misaka Galiza. hlm. 3.
                [51]Zulfikar. Loc.Cit.
                [52]Ali Imron HS. Loc.Cit.
                [53]Reza Fikri Febriansyah. “Eksistensi Hukum Islam Dalam Struktur Hukum Nasional Indonesia”. www.legalitas.org., diakses tanggal 21 September 2008.
                [54] A. Qodri Azizy. Op.Cit. hlm. 225.
                [55]Cik Hasan Bisri. 1998. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 86.
                [56] Ibid. hlm. 87-92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar