Sabtu, 09 April 2011

KONSEP AL-HUBB AL-ILAHI
(ANALISIS PEMIKIRAN RABI’AH AL-ADAWIYAH)

A.      Pendahuluan
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang seniman[1] plus perempuan sufi.[2] Namanya terukir dalam catatan sejarah yang ditulis oleh banyak ahli sejarah tentang sejarah perilaku kehidupannya dideskripsikan bahwa beliau adalah seorang ahli ibadah zikir dan ahli ibadah.[3]
Dalam hal ini sebagai orang yang ahli ibadah, sudah barang tentu di dalam melakukan aktivitas ibadahnya itu dilatarbelakangi oleh suatu motivasi secara umum. Sebagai seorang sufiyah yang termasyhur, Rabi’ah al-Adawiyah memiliki motivasi dalam beribadah yaitu karena cinta yang tumbuh dan membawa dalam jiwanya kepada Tuhannya. Terkenallah konsep tasawuf dan tauhidnya yang disebut dengan Hubb al-Ilahi yang artinya cinta Allah. Dengan konsep dan ajarannya itu,  kemudian dalam tataran sejarah sufi khususnya, ia dikenal sebagai pembawa versi baru dalam kehidupan keruhanian yang memperkaya kehidupan dunia tasawuf.[4]

B.       Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah.[5] Ia lahir di Basrah sekitar tahun 95-99 H.[6] Putri keempat setelah tiga saudara perempuannya yang lahir sebelumnya yang oleh karenanya dia lebih populer diberi nama dan dipanggil dengan Rabi’ah yang berarti putri keempat.[7]
Orang tua Rabi’ah pada masanya- paling tidak sekitar kelahirannya sampai dengan kedua orang tuanya wafat – di masyarakat sekitarnya tergolong cukup miskin. Alkisah diceritakan bahwa pada malam kelahirannya tidak terdapat suatu barang berharga dalam rumahnya. Bahkan minyak untuk lampu penerangan serta sehelai kain pun untuk keperluan menyelimuti sang bayi yang baru lahir pun tidak ditemukan.[8]
Orang tua Rabi’ah menurut historis terutama ayahnya adalah seorang asketik, rendah hati, serta suka berpuasa, setia dalam kesabaran dan penuh cinta kasih.[9] Deskrpsi tersebut mengantarkan kita hari ini suatu konklusi minor bahwa orang tua Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang yang saleh dan zuhud.[10]
Suatu hal yang dapat dikatakan menonjol pada masa pertumbuhan dan perkembangan usia anak-anaknya ialah bahwa ia kelihatan cerdik dan lincah dibanding kawan-kawannya. Juga pada dirinya tampak pamcaran sinar ketakwaan dan ketaatan dibanding teman-temannya.[11]
Rabi’ah kecil yang memiliki kecerdasan yang tinggi atau IQ unggul itu dapat diukur dari salah satu teori penentuan IQ yaitu bahwa penampilan sikap dan fisik terlihat lebih tua atau dewasa dibanding dari usianya dan mempunyai daya ingat istimewa.[12] Diceritakan bahwa Rabi’ah itu sejak kecil sudah seperti orang dewasa. Hal ini disimpulkan dari sikapnya yang bisa memahami dan merasakan kondisi ekonomi orang tuanya, sehingga lebih memilih menjadi gadis pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya sebagaimana layaknya gadis kecil pada umumnya yang menginjak remaja.[13] Dalam usia 10 tahun ia telah hafal Alquran dan senantiasa ia ulang-ulang dalam duduk ibadahnya.[14]
Dalam hal pendidikan, Rabi’ah al-Adawiyah tidak pernah sekolah secara formal, melainkan sekolah informal dibawah asuhan dan didikan ayahnya sendiri. Dalam pendidikan informal ini, Rabi’ah sering dibawa oleh ayahnya ke sebuah mushalla yang berada dipinggiran kota Basrah dengan keadaan yang jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk keramaian. Tempat ini selain tepat untuk membekali pengetahuan anaknya, ayah Rabi’ah telah menjadikannya sebagai tempat ibadah rutin dan munajatnya. Kegiatan pendidikan terhadap Rabi’ah ini oleh ayahnya ditempat seperti itu dimaksudkan ayahnya agar gadis kecil ini terhindar dari polusi akhlak yang melanda kota Basrah saat itu.[15]
Hal yang paling penting dicatat di sini adalah bahwa ayah Rabi’ah telah berhasil membentuk pribadi atau kejiwaan anaknya yang memiliki sikap dan pandangan keruhanian yang sangat baik yang lebih dini dibanding anak-anak lain dan hal ini mengantarkannya kepada suatu jenjang pertumbuhan dan perkembangan manusia seolah-olah dewasa sebelum waktunya. Sikap dan pandangan keruhanian yang luar biasa dari Rabi’ah al-Adawiyah kecil ini, suatu saat mengundang pertanyaan juga dalam hati sang ayah sendiri dalam ungkapan katanya yang berbentuk pertanyaan singkat berbunyi: “Tuhan, Engkau persiapkan jadi apakah anak ini? Ia sungguh berbeda dengan anak-anak sebayanya”.[16]
Ada beberapa peristiwa yang dapat dilihat sebagai sesuatu yang istimewa yang terjadi pada diri Rabi’ah. Diantara peristiwa istimewa itu, ada orang lain yang mempersaksikannya dan ada pula yang Rabi’ah sendiri menyaksikannya, diantaranya:
  1. Adanya suatu cahaya yang bersinar di atas kepalanya menerangi ruangan yang gelap dengan gelapnya malam saat itu beribadah dan berdo’a kepada Tuhan. Hal itu dipersaksikan oleh tuannya yang karena itu pula ia terbebas dari perbudakan.
  2. Tangannya yang patah dengan sakit yang sangat tinggi itu sembuh seketika seperti tak ada sakit sebelumnya beberapa saat setelah kebebasannya.
  3. Pada saat ia bersama rombongan kabilah dari Basrah hendak melaksanakan ibadah haji, ditengah perjalanan keledai yang membawanya mati. Setelah ia ditinggal sendirian dengan setengah meratap mengharap dan berdo’a kepada Tuhan akan adanya suatu keajaiban yang membawanya sampai ke Mekkah, tiba-tiba keledainya itu kemudian bergerak hidup dan bangkit kembali. Selanjutnya ia melanjutkan perjalanan dan sampai di Mekkah dengan selisih waktu yang tidak jauh dari rombongan kabilahnya.[17]
Pada fase akhir hayatnya, para ahli sejarah berselisih pendapat tentang wafatnya dan tempat penguburannya. Mayoritas dari mereka meyakini tahun 185 H. Sebagai tahun wafatnya yang berarti usianya lebih kurang 90 tahun[18] dan kota Basrah sebagai kota kelahiran juga merupakan tempat menguburkannya.[19]
Sampai wafatnya, Rabi’ah tidak pernah menikah. Namun diantara penulis sejarah ada yang mengatakan bahwa hitam diatas putih ia memang tidak pernah menikah, tetapi, tetapi secara biologis ia telah menjalani kehidupan berkeluarga bersama tuannya karena ia dimiliki dan tentu seterusnya digauli sebagai seorang budak oleh sang tuan.[20]
Tentang mengapa ia tidak menikah, jawabannya terlihat dari empat pertanyaannya kepada sang pelamarnya yang tidak bisa terjawab. Pertanyaan itu adalah: 1. Jika aku meninggal apakah sebagai muslim atau kafir? 2. Saat aku dimasukkan ke kubur apakah aku dapat menjawab semua pertanyaan Munkar dan Nakir? 3. Pada hari peradilan akan mampukah aku menghadirkan buku catatan perbuatan dengan tangan kanan? 4. Pada hari akhir tiba, apakah aku kelompok yang ke surga atau yang ke neraka?[21]
Saat ajalnya menjelang tiba, keluar juga watak dan pribadi mulianya yang tidak ingin menyusahkan orang untuk kepentingannya. Dia meminta orang yang menungguinya untuk meninggalkan kamarnya serta menutup pintunya. Selanjutnya para penunggu itu mendengar suara yang berkata: “Wahai jiwa yang damai, kembalilah pada Tuhanmu dengan bahagia”.  Seperti bunyi ayat 27-30 surat Al-Fajr. Wanita mulia itu pun telah wafat.



C.      Rabi’ah al-Adawiyah dan Ajarannya
Untuk dapat berada dekat dengan Tuhan, seseorang harus menempuh jalan panjang yang berisi stasiun-stasiun (maqam-maqam) atau stages dan stations dalam bahasa Inggris. Maqam-maqam itu antara lain dengan taubat, zuhd, al-hubb, ma’rifat dan wihdat al-wujud.[22] Stasiun terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd, yaitu meninggalkan dunia dan hidup kebendaan. Oleh karena itu para sufi pada umumnya memulai dan melalui tahapan pertama proses kesufiannya dengan taubat,[23] kemudian menjadi zahid, dan sesudah itu barulah meningkat menjadi sufi.[24]
Aliran zuhd yang muncul akhir abad pertama dan awal abad ke-2 Hijriah ini sudah tentu lebih dahulu dari aliran tasawuf, dengan mengambil tempat Kufah dan Basrah.[25] Di Basrah, zuhd (asketisisme) bersumber dari wacana seorang zahid yang bernama Hasan al-Basri dengan pokok ajarannya tentang hari peradilan.[26] Rabi’ah belajar dan bergabung di majelis pengajian Hasan al-Basri itu. Ajaran Hasan al-Basri nampaknya turut mewarnai alam pikiran dan pemahaman serta pengamalan sufinya. Hal ini terungkap dari ucapannya yang sering kali ia katakan kepada sahabat-sahabat dan muridnya bahwa pikiran tentang hari peradilan menakutkannya dan ia terus-menerus berdo’a dan meminta agar dijauhkan dari azab.[27]
Rabi’ah kemudian dilukiskan sebagai seorang perempuan yang hatinya dianugerahi hikmah dan otaknya sendiri disinari ilmu pengetahuan. Karena itu ia memiliki ilmu yang dalam, menguasai ilmu fiqih, ilmu tafsir dan juga memahami hadis, sehingga ia mendapatkan sanjungan para ulama, bahkan menempatkannya sejajar dengan para ulama seniornya serta menjadi guru sufi bagi para asketis lainnya.[28]
Menurut Atiyah Khamis, dalam petualangannya hingga sampai menjadi seorang sufi dan guru sufi, Rabi’ah memulai aktifitas religiusnya dengan kehidupan zuhud. Dari kehidupan zuhud kemudian meningkat pada tingkatan ihsan. Akhirnya stasiun terakhir yang digunakannya untuk dekat dengan Tuhan adalah ‘hubb al-ilahi” yaitu cinta yang hanya tertuju pada Allah[29], itulah yang menjadi inti pemahaman, pengamalan dan ajaran religi Rabi’ah al-Adawiyah.
Ibnu Atha’illah mengatakan bahwa mahabbah atau hubb al-ilahi merupakan maqam menuju ridha Allah. Ridha Allah merupakan kunci dari semua amal. Melalui hubb al-ilahi hati akan senantiasa terikat kepada Allah, dan Allah senantiasa ada di dalam hatinya.[30]
Hubb al-ilahi sebagai suatu bentuk maqam dari pemahaman, keyakinan , pengalaman dan pengamalan serta ajaran religi Rabi’ah untuk menuju  dan mendapatkan ridha Allah, yang kemudian menjelma dalam rasanya sebagai suatu kepuasan dan kenikmatan religius, terungkap dalam do’a-do’a dan pernyataan religinya yang puitis berikut:
Ya Allah aku berlindung pada Engkau dari hal-hal yang memalingkan aku dari-Mu dan dari setiap hambatan yang akan menghalangi Engkau dariku.[31]
Demi kemuliaan-Mu, walaupun Engkau tolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan tetap menanti di depannya, karena hatiku telah terpaut pada-Mu.[32]
Do’a dan pernyataannya di atas menunjukkan bahwa seluruh kehidupannya selalu dalam keadaan ingat kepada Allah dan tak satu pun yang dapat memalingkan hatinya dari mengingat Allah. Tentang kepatuhannya kepada Tuhan terekspresi dalam rangkaian ibadah-ibadah yang mengisi ruang gerak kehidupannya bukan karena dasar khauf dan raja’ melainkan karena cinta yang bertujuan untuk mendapatkan ridha dan cinta ilahi. Hal ini tercermin dari munajat puitisnya berikut:
Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar di dalamnya. Dan seandainya aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata-mata karena cinta pada-Mu, jangan halangi aku melihat keindahan-keindahan yang abadi itu.[33]
Dengan membaca sepintas saja bait-bait doa puitisnya tentu akan memunculkan suatu kesimpulan dipikiran kita  mengenai Rabi’ah bahwa beliau adalah seorang asketis seniman yang ridha dan cinta Tuhan merupakan terminal tujuan dari semua aktifitas kehidupannya. Satu hal penting yang menjadi catatan sebagai episode akhir tulisan ini adalah para sejarawan mengatakan bahwa Rabi’ah memulai petualangan religinya dari kehidupan zuhd, maka menurut penulis ia mulai dari sikap ‘abid yang sejak kecil telah ditanamkan oleh ayahnya dan berpuncak pada saat kehidupannya sebagai seorang budak.

D.      Penutup
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi seniman yang tergolong generasi awal dalam dunia sufi dengan metode pendekatan pemahaman, penghayatan dan pengamalan (maqam) hubb al-ilahi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam mengekspresikan hubb al-ilahi itu ia menempuh dua cara yaitu: 1. Dengan ekspresi motoral yaitu melalui perbuatan/ibadah; 2. Dengan ekspresi verbal, yaitu pernyataan keadaan jiwa melalui kata-kata/do’a.
Motivasi religius yang timbul dari dalam dirinya didorong oleh rasa rindu dan cinta kepada Allah, yang secara nyata berhasil ia rasakan dan nikmati dalam kehidupan. Kehidupan religius itu pun juga bukan tanpa proses. Proses itu terjadi dan berjalan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu faktor kejiwaan, yaitu bakat kesufian telah ada sejak anak-anak, ia sejak kecil sering menyendiri dan merenung (jiwa introvert), serta faktor keadaan, dimaan ia berada dalam garis kemiskinan secara ekonomi serta miskin protektif yang memaksanya untuk menjadikan Tuhan satu-satunya tumpuan harapan.

DAFTAR PUSTAKA


Abd al-Baqi Surur, Thaha, 1957, Rabi’ah al-Adawiyah, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Kairo.
al-Attar, Fariduddin, 1983, Tazkirat al-Auliyat, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, Warisan Para Aulia, Pustaka, Bandung.

al-Mun’im Qandil, Abd, 1995, Rabi’ah al-Adawiyah: Azra’u al-Basrah al-Batul, diterjemahkan oleh Moh. Rohyan Hasbullah dan Moh. Sufyan Amrullah, Figur Wanita Sufi, Pustaka Progresif, Surabaya.

al-Sakkakini, Widad, 1999, al-Asqha al-Muntasawwifa, diterjemahkan oleh Zoya Herawati, Pergaulan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah, Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, Risalah Gusti, Surabaya.

al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Abu 1985,  al-Madkhal ila al-Tasawuf al-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Usmani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung.

Atiyah Khamis, Muhammad , 1994, Rabi’ah al-Adawiyah, diterjemahkan oleh Aliuddin Mahyuddin, Pustaka Firdaus, Jakarta.

M. Fudoli Zaini, 2000, Sepintas Sastra Sufi, Tokoh Dan Pemikirannya, Risalah Gusti, Surabaya.

Masignon dan Abdul Razaq, Louis, 1979, Tasawuf fi al-Islam, Dar al-Syib, Kairo.
Mustafa Hilmi, Muhammad, 1960, al-Hubb al-Ilahi fi al-Tasawuf al-Islami, Maktabah al-Tsaqafah, Kairo.

Nasution, Harun, 1999,  Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

Nurbakhsh, Javad,1996,  Sufi Women, diterjemahkan oleh M.S. Nasrullah dan Ahsin Muhammad, Wanita-Wanita Sufi, Mizan, Bandung.

Roded, Ruth, 1995,  Women in Islamic Biographical Collection From Ibn Sa’ad to Who’s Who, alih bahasa oleh Ilyas Hasan, Kembang Peradaban, Mizan, Bandung.

Smith, Margareth, 1984, Rabi’as The Mystic and Fellow Saint in Islam, Cambridge University Press, Cambridge.

Sururin, 2000, Rabi’ah al-Adawiyah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Syabawi Sa’id Syarif al-Din, Ahmad, t.t.h., Rabi’ah al-Adawiyah, Dar al-Taklif, Mesir, t.th..

Syarqawi, Mahmud, 1971, Rabi’ah al-Adawiyah, Dar al-Syu’ub, Kairo.
Waddy, Charis, 1987, Woman In Muslim History, diterjemahkan oleh Faruk Zabidi, Wanita Dalam Sejarah Islam, Pustaka Jaya, Jakarta.


[1]Ruth Roded, Women in Islamic Biographical Collection From Ibn Sa’ad to Who’s Who, alih bahasa oleh Ilyas Hasan, Kembang Peradaban, Mizan, Bandung, 1995, hal. 161.
[2]M. Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi, Tokoh Dan Pemikirannya, Risalah Gusti, Surabaya, 2000, hal. 3.
[3]Ahmad Syabawi Sa’id Syarif al-Din, Rabi’ah al-Adawiyah, Dar al-Taklif, Mesir, t.th., hal. 115.
[4]Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 21.
[5]Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, al-Madkhal ila al-Tasawuf al-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Usmani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1985, hal. 82.
[6]Charis  Waddy, Woman In Muslim History, diterjemahkan oleh Faruk Zabidi, Wanita Dalam Sejarah Islam, Pustaka Jaya, Jakarta, 1987, hal. 97.
[7]M. Fudloni Zaini, Loc.Cit.
[8]Fariduddin al-Attar, Tazkirat al-Auliyat, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, Warisan Para Aulia, Pustaka, Bandung, 1983, hal. 48.
[9]Widad al-Sakkakini, al-Asqha al-Muntasawwifa, diterjemahkan oleh Zoya Herawati, Pergaulan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah, Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hal. 6.
[10]Sururin, Op.Cit., hal. 24.
[11]Thaha Abd al-Baqi Surur, Rabi’ah al-Adawiyah, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Kairo, 1957, hal. 34-38.
[12]Sururin, Op.Cit., hal. 24.
[13]Abd al-Mun’im Qandil, Rabi’ah al-Adawiyah: Azra’u al-Basrah al-Batul, diterjemahkan oleh Moh. Rohyan Hasbullah dan Moh. Sufyan Amrullah, Figur Wanita Sufi, Pustaka Progresif, Surabaya, 1995, hal. 16.
[14]Muhammad Atiyah Khamis, Rabi’ah al-Adawiyah, diterjemahkan oleh Aliuddin Mahyuddin, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hal. 9.
[15]Sururin, Op.Cit., hal. 25-26.
[16]Widad El Sakkakini, Op.Cit., hal. 7-8.
[17]Margareth Smith, Rabi’as The Mystic and Fellow Saint in Islam, Cambridge University Press, Cambridge, 1984, hal. 8-10.
[18]Louis Masignon dan Abdul Razaq, Tasawuf fi al-Islam, Dar al-Syib, Kairo, 1979, hal. 69.
[19] Javad Nurbakhsh, Sufi Women, diterjemahkan oleh M.S. Nasrullah dan Ahsin Muhammad, Wanita-Wanita Sufi, Mizan, Bandung, 1996, hal. 20.
[20]M. Fudoli, Op.Cit., hal. 10.
[21]Mahmud Syarqawi, Rabi’ah al-Adawiyah, Dar al-Syu’ub, Kairo, 1971, hal. 67.
[22]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1999, hal. 60-61.
[23]Sururin, Op.Cit., hal. 47.
[24]Harun Nasution,  Op.Cit., hal. 62.
[25]Ibid., hal. 62-63.
[26]Widad, Op.Cit., hal. 27.
[27]Ibid., hal. 55-60.
[28]Abd al-Mun’im al-Qaandil, Op.Cit., hal. 53.
[29]Muhammad Atiyah Khamis, Op.Cit., hal. 50-54.
[30]Muhammad Mustafa Hilmi, al-Hubb al-Ilahi fi al-Tasawuf al-Islami, Maktabah al-Tsaqafah, Kairo, 1960, hal. 37.
[31]Muhammad Atiyah Khamis, Op.Cit., hal. 24.
[32]Javad, Op.Cit., hal. 77.
[33]Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Op.Cit., hal. 86. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar