Sabtu, 09 April 2011

TAKLIK TALAK DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KEDUDUKAN WANITA DALAM RUMAH TANGGA

A. Pendahuluan
             Dalam Pendahuluan Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas putusan pengadilan.
            Putusnya perkawinan karena perceraian, di Indonesia pada umumnya mengunakan lembaga taklik talak (cerai talak). Namun tidak sedikit pula yang putus karena putusan pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran taklik talak. Lembaga taklik talak di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu. Kenyataan yang ada sampai saat ini pun menunjukkan hampir setiap perkawinan di Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan sighat ta’lik thalak oleh suami. Sekalipun sifatnya suka rela, namun di negara ini, membaca taklik talak seolah-olah menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami.
            Sighat ta’lik dirumuskan sedemikian rupa, dengan tujuan untuk melindungi pihak isteri supaya tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak suami. Jika isteri tidak ridha atas perlakuan suami, maka isteri dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudkan syarat ta’lik sebagaimana disebutkan di dalam sighat ta’lik.
            Eksistensi taklik talak ternyata banyak melahirkan kontoversi, baik di kalangan fuqaha maupun para pengamat hukum Islam. Dalam pada itu, permasalahan ini perlu dan relevan untuk dibahas agar penerapannya benar-benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan benar-benar dapat memenuhi serta memberikan kepastian hukum bagi pencari keadilan.

B. Pengertian Taklik talak
            Yang dimaksud dengan taklik talak ialah menyandarkan jatuhnya thalaq kepada sesuatu perkara, baik kepada aucapan, perbuatan maupun waktu tertentu.[1] Hal ini dimaksudkan untuk  menjaga perbuatan sewenang-wenang dari pihak suami. Taklik talak ini dilakukan setelah akad nikah, baik langsung waktu itu mauoun di waktu lain.[2]
            Dengan taklik talak ini berarti suami menggantungkan talaknya kepada perjanjian yang ia setujui. Apabila perjanjian itu dilanggar, dengan sendirinya jatuh talak kepada isterinya.

C. Sejarah Taklik talak di Indonesia
            Menurut catatan sejarah, pelembagaan taklik talak mulai dari perintah Sultan Agung Hanyakrakususma, raja Mataram (1554 Jawa-1630 Masehi) dalam upaya memberi kemudahan bagi wanita untuk melepaskan ikatan perkawinan dari suami yang meninggalkan pergi dalam jangka waktu tertentu, disamping jaminan bagi suami bila bepergian intu adalah dalam tugas negara. Ta’lik itu disebut Takluk Janji Dalem, atau “taklek janjining ratu” artinya ta’lik dalam kaitan dengan tugas negara.[3]
            Dalam suasana pemerintahan Hindia Belanda, sejak Daendels mengeluarkan instruksi bagi Bupati tahun 1808, kemudian ditegaskan dalam Stb. 1835 No. 58 untuk mengawasi tugas para penghulu, Stb. 1882 No. 152 tentang pembentukan Raad Agama di mana penghulu juga menjadi ketuanya, kemudian keluar Ordonansi Pencatatan Perkawinan Stb. 1895 No. 198 jis Stb. 1929 No. 348 dan Stb. 1931 No. 348, Stb. 1933 No. 98 untuk Solo dan Jogya, maka timbul gagasan para Penghulu dan Ulama dengan persetujuan Bupati, untuk melembagakan taklik talak sebagai sarana pendidikan bagi para suami agar lebih mengerti kewajibannya terhadap isteri, yaitu dengan tambahan rumusan sighat tentang kewajiban nafkah dan tentang penganiayaan suami.
            Melihat bahwa bentuk ta’lik thalak di Jawa itu bermanfaat dalam menyelesaikan perselisihan suami isteri, maka banyak penguasa adaeah luar Jawa dan Madura memberlakukannya di daerah masing-masing. Ini menjadi lebih merata dengan berlakunya Ordonansi Pencatatan Nikah untuk luar Jawa dan Madura, yakni Stb. 1932 No, 482.[4]
            Ketika Indonesia merdeka, dengan berlakunya UU No.2 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1952, maka ketentuan tentang sighat taklik talak diberlakukan seragam di sluruh Indonesia, dengan pola saran Sidang Khusus Birpro Peradilan Agama pada Konferensi Kerja Kementerian Agama di Tretes, Malang tahun 1856,[5] dan terakhir setelah UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan bunyi sighat taklik yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990, seperti di bawah ini:
Sesudah akad nikah saya.........bin.........berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli isteri saya bernama ........ binti....... dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syariat Agama Islam
            Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas isteri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
(1)   Meningalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;
(2)   Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
(3)   Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;
(4)   Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam bulan lamanya:
Kemudian isteri saya itu tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurusi pengaduan itu, dan pengaduannya dibenartkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, makla jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, untuk keperluan ibadah sosial.[6]


D. Eksistensi Taklik Talak
            Pembahasan mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian telah dibahas para ulama fiqih dalam berbagai kitab fiqih. Dalam pembahasan mengenai hal ini mereka ikhtilaf. Ada yang membolehkan dan ada pula yang menolaknya, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Perbedaan tersebut sampai sekarang mewarnai perkembangan Hukum Islam.
            Di antara yang membolehkan pun terdapat dua pendapat. Ada yang membolehkan secara mutlak dan ada yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Perbedaan faham di antara mereka yang membolehkan, pada dasarnya terletak pada bentuk sifat dan sighat taklik talak yang bersangkutan. Yang membolehkan secara mutlak, mereka membolehkan semua bentuk sighat taklik, baik yang bersifat syarthi maupun qasami, yang bersifat umum maupun yang dikaitkan dengan sesuatu. Sedang yang membolehkan ialah sighat taklik yang bersifat syarthi, dan sesuai dengan maksud tujuan hukum syar’i.[7]
            Fakta yuridis mengenai alasan perceraian sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan beserta penjelasannya, maupun dalam Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, tidak disinggung mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian.
            Pembuat undang-undang menganggap bahwa perceraian berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan jo. Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 telah cukup memadai, sesuai dengan jiwa undang-undang tersebut yang antara lain menganut asas mempersukar terjadinya perceraian. Sehingga tidak perlu lagi ditambah atau diperluas.
            M. Yahya Harahap dalam karyanya Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia, juga mengatakan demikian. Dinyatakan bahwa UU Perkawinan tidak menutup perceraian. Pada saat yang bersamaan undang-undang juga tidak membuka lebar-lebar pintu perceraian. Oleh karena itu jumlah perceraian harus dibatasi. Apa yang diatur dalam aturan perundang-undangan dianggap cukup memadai, mensejajari kebutuhan masyarakat. Apalagi jika dilihat dari keluwesan Pasal 19 f PP No.9 Tahun 1975, dan dikaitkan dengan perluasan alasan “melalaikan kewajiban” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan. Alasan perceraian yang kita miliki lebih dari cukup. Tidak perlu ditambah, dan memang alasan perceraian telah ditetapkan oleh undang-undang secara limitatif. Di liar itu tidak ada lasan yang dapat dipergunakan.[8]
            Namun bila dicermati dari fakta yang ada saat ini, nampak jelas bahwa perkara cerai gugat dengan alasan taklik talak yang diterima oleh Pengadilan Agama mencapai jumlah yang tidak sedikit, mencapai puluhan ribu setiap tahunnya.
            Mengenai sikap Pengadilan Agama yang tampaknya telah membenarkan alasan perceraian di luar undang-undang dapat dirumuskan beberapa hal:
            Pertama, taklik talak dari segi esensinya sebagai perjanjian yang digantungkan kepada syarat dengan tujuan utamanya melindungi isteri dari kemudharatan karena tindakan sewenang-wenang suami, mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu dalil-dalil dari kitab suci Alquran dan Hadis.
            Kedua, taklik talak sebagai alasan perceraian telah melembaga dalam Hukum islam sejak lama, sejak masa sahabat. Sebahagian besar ulama sepakat tentang sahnya dan sampai sekarang diamalkan oleh kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, khususnya di Malaysia dan Indonesia.
            Ketiga, substansi taklik talak yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama RI, dipandang telah cukup memadai, dipandang dari asas Hukum Islam ataupun jiwa UU Perkawinan.
            Keempat, di Indonesia lembaga taklik talak secara yuridis formal telah berlaku sejak zaman penjajahan Belanda, berdasarkan Staatblaad 1882 No. 152 sampai sekarang setelah merdeka menjelang diundangkannya UU Perkawinan bahkan sampai menjelang diundangkannya UU No.7 Tahun 1989. Sekalipun Staatblad 1882 No. 152 yang memberi landasan yuridis berlakunya hukum taklik talak telah dicabut dengan UU No.7 Tahun 1989 pada saat sekarang ini dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam melalui INPRES No.1 Tahun 1991 yang antara lain mengatur juga mengenai taklik talak maka taklik talak dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis.
            Dalam praktik di Pengadilan Agama baik ia sebagai perjanjian atau pun alasan perceraian, maka hakim secara tegas mempertimbangkannya dalam putusannya. Hendaknya hakim mempertajam upaya dalam mengkonstatir, mengkualifisir maupun mengkonstituir perkaranya, sehingga kecenderungan selama ini untuk menggiring atau mengarahkan perkara cerai gugat menjadi perkara taklik talak dapat dikurangi.
            Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara dapat dilaksanakan dengan benar, dan ketentuan sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 62 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989, yakni: Segala Penetapan dan Putusan Pengadilan, setelah memuat alasan-alasan atau dasar-dasarnya, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan, dapat terpenuhi.
            Atas dasar ini pula penulis berpendapat bahwa taklik talak sebagai alasan perceraian relevan dan dapat dibenarkan menurut hukum.[9]

E. Rumusan Perjanjian Taklik Talak
            Sebagaimana disinggung di atas, bahwa para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam pembahasan mengenai taklik talak. Ibn Hazm berpendapat bahwa dari dua macam bentuk taklik talak, yaitu taklik qasamy dan taklik syarthi, keduanya tidak sah dan ucapannya tidak mempunyai akibat apa-apa. Alasannya karena Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak, sedang taklik talak tidak ada tuntunannya dalam Alquran dan Sunnah.[10]
            Ada juga yang berpendapat bahwa taklik qasamy yang mengandung masud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak. Faham ini dianut di Mesir, dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Negara tersebut No. 25 Tahun 1929 yang intinya sebagai berikut: Talak tidak tunai terjadi jika dengan talak tersebut yang dimaksud ialah menyuruh berbuat sesuatu atau meninggalkannya semata-mata. Ketentuan yang sama juga dipakai di Sudan sejak tahun 1935, dengam maklumat Syar’i No. 41.
            Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang telah mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi syarat-syaratnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh mereka masing-masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik, baik  taklik itu mengandung sumpah (qasamy) atau mengandung syarat biasa. Karena orang yang mentaklikkan talaknya itu tidak menjatuhkan talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi orang itu menggantungkan talak kepada telah terpenuhinya  syarat yang terkandung dalam ucapannya.[11]
            Pendapat jumhur inilah yang dianut oleh Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Staatblad 1882 No. 152, bahwa Raad Agama berwenang untuk memeriksa bahwa syarat taklik telah berlaku.
            Setelah Indonesia merdeka rumusan sighat taklik talak ditentukan oleh Departemen Agama . Tidak lain maksudnya adalah untuk membatasi agar bentuk sighat taklik talak tidak secara bebas begitu saja diucapkan oleh suami, juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan terhadap isteri dari perbuatan kesewenang-wenangan suami.
            Berdasarkan fakta yuridis yang dihimpun dapat diketahui bahwa sejak tahun 1940 sampai sekarang, rumusan sighat taklik talak telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan itu bila diamati, tidak mengenai unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai volume/kualitas dari syarat taklik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.
            Unsur-unsur dimaksud ialah: 1. suami meninggalkan isteri, 2. Suami tidak memberi nafkah kepada isteri, 3. Suami menyakitti isteri, atau 4. Suami membiarkan (tidak memedulikan isteri), 5. Isteri tidak ridha, 6. Isteri mengadukan halnya ke Pengadilan, 7. Pengaduan isteri diterima oleh Pengadilan, 8. Isteri membayar uang iwadh, 9. Jatuhnya talak suami satu kepada isteri dan 10. Uang iwadh oleh suami diterimakan kepada Pengadilan untuk diserahkan kepada pihak ketiga untuk kepentingan ibadah sosial.[12]
            Perubahan mengenai kualitas syarat taklik talak yang berlaku di Indonesia sejak sebelum merdeka (19400 hingga setelah merdeka, yakni yang ditentukan oleh Departemen Agama, masing-masing pada tahun 1947, 1950, 1956 dan tahun 1975 semakin menunjukkan kualitas yang lebih sesuai dengan asas syari’i, yakni mempersukar terjadinya perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari perbuatan sewenang-wenang suami.[13]
            Perlunya pengaturan sighat taklik secara formal oleh Menteri Agama adalah dimaksudkan agar relevan dengan asas-asas syar’i tentang perceraian,  demikian pula agar relevan dengan asas-asas yang terkandung dengan UU Perkawinan khususnya yang berkaitan dengan alasan perceraian.
            Oleh karena itu rumusan sighat taklik talak sebagaimana yang terakhir ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1990 juncto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 46 ayat (2) KHI dianggap telah memadai dan relevan dengan asas-asas tersebut. Dengan kata lain (mafhum mukhalafahnya) maka semua bentk taklik talak selain (di luar) yang ditentukan oleh Departemen Agama/Menteri Agama seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.

F. Pengaruh Taklik Talak terhadap Kedudukan Wanita dalam Rumah Tangga
            Dalam sistem hukum dunia, kompetensi perceraian sepenuhnya berada di tangan hakim. Pengadilan adalah astu-satunya forum yang dapat memenuhi permohonan cerai dan mengesahkan pembubaran mahligai perkawinan. Walaupun dalam hukum Islam diketahui bahwa hakim sama sekali tidak mempunyai hak menjatuhkan talak terhadap istri dalam kondisi apapun.[14]
            Perceraian adalah hak pria, asalkan ia berlaku secara wajar terhadap istrinya. Perilaku yang wajar dari seorang pria terhadap isterinya ialah bahwa apabila ia berkehendak untuk hidup bersama isterinya, maka ia harus mengurusinya dengan sepatutnya, menghormati hak-hak isterinya, dan berlaku kasih sayang terhadapnya. Apabila tidak ada jalan baginya untuk meneruskan kehidupan bersama isterinya itu maka ia harus secara sopan dan ramah menceraikannya.
            Kenyataan di lapangan terlihat banyaknya perceraian yang disebabkan kelalaian suami terhadap isteri dalam hal pengurusan, pemberian nafkah, dan penghargaan terhadap wanita.[15] Dalam hal inilah tampak akan fungsi taklik talak yang mengikat pertanggungjawaban suami terhadap isterinya.
            Dari satu sisi suami akan lebih konsisten dan bertanggungjawab terhadap kelangsunan rumah tangga dan di sisi lain isteri akan lebih dihargai. Pelanggaran suami terhadap hal-hal yang termaktub dalam sighat taklik talak sudah merupakan alasan bagi istri untuk mengajukan keberatan dan menuntut dijatuhkannya talak.
            Walau masih terdapat beberapa pendapat yang kontradiktif terhadap keberadaan taklik saat ini, namun pengaruhnya terhadap penghargaan terhadap wanita dalam rumah tangga lebih besar.
            Menurut Abdul Karim Amrullah, lembaga taklik talak dapat menolong wanita dari perbuatan kesewenang-wenangan laki-laki. Sebagaimana dahulu banyak terjadi di daerah Minangkabau, banyak perempuan yang terkatung-katung, tidak pernah begaul dan tidak pernah diberi nafkah oleh suami, tetapi tidak pula diceraikan.
            Apabila mereka mengadu ke Pengadilan, mereja justru disalahkan karena sulitnya Hakim Agama mengabulkan gugatan perceraian dari mereka, padahal mereka benar-benar ditelantarkan oleh suaminya, kemudian banyak diantara mereka yang murtad, dengan sendirinya putuslah nikah dengan suaminya. Oleh karena itu pada tahun 1916, untuk membebaskan perempuan dari laki-laki yang tidak bertanggungjawab, atas usul beliau di daerah Minangkabau diberlakukan taklik talak.[16]
            Mahmoud Syaltout dalam buku Perbandingan Mazhab menjelaskan bahwa para ahli hukum Islam berpendapat bahwa perjanjian taklik talak adalah jalan terbaik dalam melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan perjanjian taklik talak, ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk perjanjian itu telah disepakati bersama, maka perjanjian taklik talak itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik. Apabila suami melanggar perjanjian yang telah disepakati itu maka isteri dapat meminta cerai kepada hakim yang telah ditunjuk oleh pihak yang berwenang.[17]
            Untuk itulah maka sesuai dan menurut kemaslahatan bagi suami maupun isteri, eksistensi taklik talak sangatlah penting.[18] Murtadha Muthahhari mengilustrasikan perceraian yang wajar dan normal ibarat suatu kelahiran yang normal, yang berlangsung sendirinya secara normal, tetapi perceraian dari seorang suami yang tidak mau melaksanakan kewajibannya dan tidak mau pula menceraikan isterinya ibarat suatu kelahiran yang tidak alami dan tidak normal, dimana diperlukan seorang dokter atau ahli bedah (hakim).[19]

F. Penutup
            Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahawa keberadaan taklik talak sangatlah penting. Eksistensi taklik talak yang sudah ditopang oleh kekuatan hukum yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam serta pengaruhnya terhadap keberadaan wanita menambah pentingnya arti taklik talak dalam kehidupan rumah tangga.
            Kedudukan wanita akan lebih berarti karena akan terhindar dari sikap kesewenang-wenangan suami, tanggung jawab suami sebagai pemimpin rumah tangga akan lebih dihargai dan pada akhirnya tentunya tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.








DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Arso Sastroadmodjo, 1975, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.

Daniel S. Lev, 1986, Islamic Court in Indonesia (Peradilan Agama Islam di Indonesia), terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Cet. II., PT. Intermasa, Jakarta.

Hamka, 1981, Tafsir al-Azhar, Juz V, Panji Masyarakat, Jakarta.

Ibrahim Muhammad al-Jamal, 1995, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh Muslimah), terjemahan Zaid Hussein al-Hamid, Cet. II, Pustaka Amani, Jakarta.

M. Yahya Harahap, 1989, Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia, FH-UI, Jakarta.

Mahmoud Syaltut, 1978, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh, terjemahan Ismuha, Bulan Bintang, Jakarta.

Moch. Anwar, 1991, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, CV. Diponegoro, Bandung, 1991.

Moh. Adnan, 1984, Tatacara Islam, Bahasa dan Tulisan Jawa, Penerbit Mardi Kintoko, Surakarta.

Mohd. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Islam Perkawinan (Suatu Analisis Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta.

Murtadha Muthahhari, 1997, The Rights of Women in Islam, terjemahan M. Hashem, Penerbit Pustaka, Bandung.

Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh Sunnah, Jilid III, Dar al-Fikr, Beirut.

Victor Situmorang, 1988, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Cetakan I, PT Bina Aksara, Jakarta.

Zaini Ahmad Noeh, 1997, Pembacaan Sighat Taklik Thalaq sesudah Akad Nikah , dalam Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII.


Majalah, jurnal, laporan:
Buku Laporan Kementerian Agama 1956.

Mimbar Hukum, No. 23 Tahun VI, 1995.




[1]Moch. Anwar, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, CV. Diponegoro, Bandung, 1991, hal. 68.
[2]Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia (Peradilan Agama Islam di Indonesia), terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Cet. II., PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hal. 204.
[3]Ta’lik tidak dibaca oleh pengantin pria, tetapi diucapkan oleh penghulu Naib dan cukup dengan dijawab: Hinggih sendika (Saya bersedia). Bentuk itu dulu berlaku di daerah Surakarta sampai masa menjelang kemerdekaan. Lihat Moh. Adnan, Tatacara Islam, Bahasa dan Tulisan Jawa, Penerbit Mardi Kintoko, Surakarta, 1984, hal. 70.
[4]Sekitar tahun 1925 sudah berlaklu taklik talak di daerah Minangkabau, bahkan di Muara Tembusi sudah sejak 1910, begitu juga pula di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Selatan serta Sulawesi Selatan. Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Sighat Taklik Thalaq sesudah Akad Nikah , dalam Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII, 1997, hal. 66.
[5]Buku Laporan Kementerian Agama 1956, hal. 322.
[6]Mimbar Hukum, No. 23 Tahun VI, 1995, hal. 70.
[7]Mahmoud Syaltut, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh, terjemahan Ismuha, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal. 218-219.
[8]M. Yahya harahap, Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia, FH-UI, Jakarta, 1989, hal. 4.
[9]Pada Pasal 116 (g) Bab VI dalam Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa alasan perceraian adalah suami melanggar taklik talak. Lihat  Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Islam Perkawinan (Suatu Analisis Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal. 153.
[10]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III, Dar al-Fikr, Beirut, 1983, hal. 223.
[11]Mahmoud Syaltout, Op.Cit., hal. 227.
[12]Arso Sastroadmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal. 91.
[13]Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit., hal. 119.
[14]Islam tidak mengekang wanita, tetapi memberi kesempatan untuk menuntut talak di hadapan hakim seandainya ia merasakan penderitaan yang sangat berat dan tidak bisa hidup dalam naungan suami. Ia boleh meminta cerai atas dasar penderitaan ini dan hakim harus membuktikan dan menyelidiki perkaranya. Lihat Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh Muslimah), terjemahan Zaid Hussein al-Hamid, Cet. II, Pustaka Amani, Jakarta, 1995, hal. 311.
[15]Victor Situmorang, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Cetakan I, PT Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 10.
[16]Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz V, Panji Masyarakat, Jakarta, 1981, hal. 71.
[17]Daniel S. Lev, Op.Cit., hal 4.
[18]Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, terjemahan M. Hashem, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997, hal. 197.
[19]Ibid

1 komentar:

  1. tanya : Jika suami tidak mengauli istrinya selama lebih dari enam bulan, apakah itu sudah termasuk jatuh talak satu? walau kewajiban nafkah lahir dipenuhi

    BalasHapus