Sabtu, 09 April 2011

SIGNIFIKANSI QAWA’ID FIQHIYYAH DAN POSISINYA DALAM FATWA DAN QADHA

SIGNIFIKANSI QAWA’ID FIQHIYYAH
DAN POSISINYA DALAM FATWA DAN QADHA
Nurul Hakim
Abstraksi
            Alquran sebagai sumber utama hukum Islam diyakini mampu untuk menjelaskan keseluruhan permasalahan yang dihadapi umat dalam hidup di dunia. Ketika berbicara dalam tataran yang sifatnya ta’abbudi tentu saja manusia tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang telah tertera dalam Alquran dan Sunnah. Artinya manusia tidak memiliki alternatif interpretasi apapun ketika Alquran dan Sunnah telah memerintahkan sesuatu. Inilah yang kemudian dalam terminologi ushul fiqih dikenal dengan nama nash yang muhkamat.
            Tapi ketika berhadapan dengan nash-nash yang sifatnya ta’aqquli, maka Allah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada manusia untuk menafsirkan nash-nash yang sifatnya mutasyabih. Nash-nash yang bersifat ta’aqquli  ini didominasi oleh nash-nash yang berbicara tentang hukum mu’amalah. Makna pentingnya adalah bahwa Allah membiarkan untuk mengurus masalah yang terjadi yang sifatnya duniawi diserahkan kepada manusia secara otonom. Qawa’id fiqhiyyah menjadi ilmu yang sangat penting dalam mempermudah qadhi (hakim) dan ulama dalam melakukan istinbath hukum ketika harus berhadapan dengan hal-hal yang sifatnya duniawi.
            Artikel ini akan memuat tentang signifikansi qawa’id fiqhiyyah dan posisinya dalam fatwa dan qadha yang diawali dengan definisi qawa’id fiqhiyyah, sejarah tumbuh dan berkembangnya ilmu qawa’id fiqhiyyah.

A.      Pendahuluan
            Rachmat Djatnika mengatakan bahwa pembicaraan syariat Islam mencakup ruang lingkup yang bersifat menyeluruh, baik berdimensi nilai-nilai Ilahi, rabbani dan insani. Ruang lingkup ini tercakup dalam masalah-masalah akidah, ibadah dan muamalah (fikih) dan akhlak atau tasawuf.[1]
            Hukum Islam pada hakikatnya adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.[2] Kata hukum Islam sebenarnya tidak ditemukan sama sekali dalam Alquran, namun yang ada dalam Alquran adalah kata syari’at, fiqh, hukm dan yang seakar dengannya. Sedangkan dalam literatur Barat, hukum Islam merupakan terjemahan dari term “Islamic Law’.[3]
            Terdapat dua dimensi dalam memahami hukum Islam. Pertama hukum Islam berdimensi Ilahiyah karena ia diyakini sebagai ajaran yang bersumber dari Yang Mahasuci, Mahasempurna, dan Mahabenar. Dalam dimensi ini, hukum Islam diyakini oleh umat Islam sebagai ajaran suci dan sakralitasnya senantiasa dijaga. Dalam pengertian seperti ini, hukum Islam dipahami sebagai syariat yang cakupannya begitu luas, tidak hanya terbatas pada fikih dalam artian terminologi. Ia mencakup bidang keyakinan, amaliah, dan akhlak. Kedua, hukum Islam berdimensi insaniyah. Dalam dimensi ini, hukum Islam merupakan upaya manusia secara sungguh-sungguh untuk memahami ajaran yang dinilai suci dengan melakukan dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan dan pendekatan maqashid. Dalam dimensi ini, hukum Islam dipahami sebagai produk pemikiran yang dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dikenal dengan sebutan ijtihad atau pada tingkat yang lebih teknis disebut istinbath al-ahkam.[4]
            Ketika berbicara tentang istinbath hukum Islam, maka akan terdapat empat ilmu penting  yang saling berkaitan. Dua ilmu pertama merupakan ilmu “pokok” yaitu fikih dan ilmu ushul fikih. Ilmu fikih obyeknya adalah perbuatan mukallaf dilihat dari berbagai segi yang kemudian hukumnya dibagi menjadi wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.[5]
            Sedangkan ilmu ushul fikih merupakan metodologi istinbath  hukum dan sekaligus berfungsi sebagai standar terhadap derajat kebenaran istinbath. Ushul fikih berperan dalam menentukan prosedur istinbath hukum.
            Dua ilmu yang terakhir yang dikenal sebagai ilmu “bantu”, yaitu kaidah ushul dan kaidah fikih (qawa’id fiqhiyyah). Kaidah ushul fikih berfungsi sebagai media untuk mempermudah hakim (qadhi) dan ulama dalam melakukan istinbath hukum. Sementara itu qawa’id fiqhiyyah merupakan penyederhanaan-penyederhanaan dalam ilmu fikih yang dilakukan oleh ulama sehingga melahirkan formulasi-formulasi yang dapat diuji kebenarannya.[6]
            Dengan dasar pemikiran itu, mendalami qawa’id fiqhiyyah memiliki arti penting karena ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dirasah  hukum Islam secara keseluruhan. Tanpa memahami qawid fiqhiyyah, pemahaman seseorang terhadap hukum Islam menjadi tidak komprehensif.
            Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa kaidah fikih dihasilkan dari analisis induktif (istiqra’) dengan memerhatikan faktor-faktor kesamaan (al-asybah) berbagai macam topik fikih yang kemudian disimpulkan menjadi kaidah umum.[7]


B.       Definisi Qawa’id fiqhiyyah dan Kegunaannya
            Qawaid berasal dari bahasa Arab, akar katanya qaidah yang artinya dasar/fondasi sesuatu.[8] Kaidah sebenarnya tidak dimonopoli atau tidak hanya ada pada disiplin ilmu tertentu saja. Ia ada dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu Tafsir, Hadis, Bahasa dan lain-lain.[9]
            Qawaid adalah jama’ dari qaidah, merupakan pengendalian dari hukum-hukum furu’ (cabang) yang bermacam-macam dengan meletakkannya dalam satu wadah (kaidah) umum yang mencakup seluruh furu’ (cabang).
            Menurut Imam Tajuddin al-Subky yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyyah  ialah:
Suatu kaidah umum yang bersesuaian dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang banyak, yang daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyyah.[10]
            Sedangkan yang dimaksud dengan qawa’id fiqhiyyah menurut Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Hukum Islam, adalah kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang diambil dari dalil-dali yang umum yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits, yang menjadi pokok kaidah-kaidah kulliyah yang dapat disesuaikan dengan banyak juz’iyyah, sebagaimana yang dimaksudkan syara’ dalam meletakkan mukallaf dibawah bebanan taklif, dan untuk memahami rahasia tasyri’ dan hikmah yang terkandung didalamnya.[11]
            Menurut Ali Ahmad al-Nadwi, qawa’id fiqhiyyah adalah patokan hukum dalam aturan yang bersifat umum, dari aturan tersebut diketahui hukum-hukum sesuatu yang berada di bawah cakupannya.[12]
            Menurut Abu Muhammad Izz al-Din ibn Abd al-Salam qawa’id fiqhiyyah adalah jalan untuk mendapatkan maslahat dan menolak mafsadat.[13] Sedangkan menurut al-Qurafi bahwa qawa’id fiqhiyyah berfungsi sebagai pengikat persoalan-persoalan furu’ yang bervariasi dan berserakan.[14]
            Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat ditarik sebuah konklusi minor bahwa kaidah fikih itu adalah ketentuan-ketentuan umum yang dapat diterapkan untuk mengetahui hukum persoalan-persoalan secara parsial. Dari segi tujuan, bahwa tujuan pembentukan kaidah fikih ini adalah agar ulama/ fuqaha’, hakim dan mufti memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan suatu sengketa atau kasus-kasus hukum di masyarakat.
            Kata kaidah ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dalam kajian ilmu hukum, kaidah memiliki beberapa definisi, diantaranya:
  1. Hukum yang bersifat general, meliputi sub-subbagian yang ada di dalamnya
  2. Hukum yang bersifat menyeluruh yang dijadikan jalan terciptanya masing-masing subhukum yang ada didalamnya.
  3. Hukum yang berlaku sebagian besar yang meliputi sebagian besar bagian-bagian hukum didalamnya.[15]
Qawa’id fiqhiyyah dapat dilihat penting dari dua sisi. Pertama dari sisi sumber. Dalam hal ini kaidah merupakan alat bagi peminat hukum Islam (fikih) untuk memahami dan menguasai maqashid al-syari’ah, karena dengan mendalami beberapa nash, para ulama dapat menemukan persoalan-persoalan esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-ahkam, qawa’id fiqhiyyah mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawa’id fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang telah terjadi dan mungkin belum terjadi, yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nash.[16]
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kegunaan qawa’id fiqhiyyah adalah sebagai pengikat terhadap beberapa persoalan fikih. Mempelajari qawa’id fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai alat memperoleh maslahat dan menolak mafsadat, sekaligus sebagai pengikat persoalan-persoalan furu’ yang jumlahnya sangat banyak.
Qawa’id fiqhiyyah merupakan kumpulan dari sekian banyak masalah fikih, sehingga memudahkan ahli, praktisi hukum Islam (baik itu pengacara maupun hakim), dan para ulama dalam melakukan istinbath hukum.
Berdasarkan dari proses pembentukan qawa’id fiqhiyyah dapat diketahui bahwa, pertama, qawa’id fiqhiyyah merupakan titik temu dari berbagai materi hukum yang sejenis. Oleh sebab itu ia merupakan akumulasi dari hukum Islam; kedua, dengan mengetahui qawa’id fiqhiyyah, akan lebih mudah dalam membuat solusi dalam menghadapi kasus-kasus hukum yang sangat banyak dan beragam dengan cara mengelompokkannya  ke dalam satu kaidah fikih; ketiga, dengan mengetahui qawa’id fiqhiyyah, akan lebih arif dalam menerapkan hukum (tathbiq al-ahkam), sesuai dengan perbedaan keadaan dan adat, tidak ifrat dan tafrit; keempat, qawa’id fiqhiyyah itu tidak terbentuk sekaligus, tetapi melalui proses panjang dan bertahap. Ia diuji dan didiskusikan oleh ulama dalam sejarah hukum Islam dengan metode induktif-tematis sampai menjadi suatu kaidah yang mapan.[17]
Pada akhirnya untuk melihat tentang arti penting dan kegunaan qawa’id fiqhiyyah dapat dilihat dari pendapat Ali Ahmad al-Nadwi berikut ini:
1.      Bahwa qawa’id fiqhiyyah itu mempermudah untuk menguasai fikih Islam, menghimpun masalah-masalah yang berserakan, dengan jalan menyusun furu’-furu’ yang banyak tersebut dalam satu alur di bawah satu kaidah.
2.      Kaidah-kaidah itu membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, dengan cara menjadikan kaidah itu sebagai jalan untuk menghadirkan hukum.
3.      Mendidik orang yang berbakat fikih dalam mendekatkan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk mengetahui hukum-hukum, yang belum digariskan dalam fikih.
4.      Mempermudah orang yang membahas fikih dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema-tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
5.      Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan yang menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat  yang lebih besar.
6.      Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian, karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.[18]
           
C.      Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Qawa’id Fiqhiyyah
            Berdasarkan uraian beberapa buku sejarah hukum Islam, mayoritas tidak membahas atau menguraikan pertumbuhan dan perkembangan qawa’id fiqhiyyah secara komprehensif. Buku-buku sejarah perkembangan hukum Islam tidak mengkaji qawa’id fiqhiyyah, apalagi sampai menjelaskan urgensi dan kedudukannya dalam hukum Islam. Untuk itu perlu dilakukan penelusuran terhadap semua proses pertumbuhan, perkembangan, dan pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah. Penelusuran sejarah itu penting dilakukan, karena sedikit banyak akan memberikan kejelasan tentang kegunaan serta kedudukan qawa’id fiqhiyyah dalam hukum Islam.
            Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga dekade: zaman Nabi Muhammad saw, yang berlangsung selama 22 tahun lebih, dan zaman tabi’in serta tabi’ al-tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun.[19] Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawa’id fiqhiyyah. Nabi Muhammad saw menyampaikan hadis-hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis-hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fikih yang sangat banyak jumlahnya.[20]  Berdasarkan hal  itu, maka hadis Nabi Muhammad saw disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawa’id fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’ al-kalim  dan qawa’id fiqhiyyah oleh banyak ulama.
            Qawa’id fiqhiyyah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri lahir pada abad IV H, dan matang pada abad-abad sesudahnya. Ketika taklid menyelubungi dunia pemikiran pada abad IV H dan sesudahnya, ijtihad menjadi mandeg dan para ulama menjadi kehilangan daya dan upaya kreatifitasnya. Hal ini ditambah dengan kekayaan fikih yang melimpah, berupa pengkodifikasian hukum fikih dan dalil-dalinya, juga banyaknya mazhab dan hanya mentarjih yang rajih. Kondisi ini mendorong para ulama untuk membahas hukum suatu peristiwa baru hanya dengan berpegang kepada fikih mazhab saja. Kasus seperti ini sebenarnya telah diprediksi oleh Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M).[21]
            Menurut Ibnu Khaldun, ketika mazhab setiap imam menjadi disiplin ilmu khusus bagi pengikutnya, dan para pengikutnya tidak mempunyai kesempatan atau tidak mampu untuk berijtihad dan melakukan qiyas, mereka memandang perlu melihat masalah-masalah yang serupa dan memilah-milahnya. Ini mereka lakukan ketika mengalami kesulitan dalam mengembalikan hukum furu’ kepada ushul imam mazhabnya.[22]
            Pada saat itu terjadi deadlock terhadap berbagai masalah hukum, sehingga masing-masing aliran cenderung mempertahankan pendapat imam mazhab anutannya. Namun karena itu pula kreativitas ulama mencuat untuk membuat formula yang tepat dalam memecahkan masalah-masalah yang ada. Pemecahan masalah dengan menggunakan ushul  para imam mujtahid membuat ruang lingkup dan masalah-masalah fikih menjadi berkembang. Para fuqaha mulai membuat metode-metode baru dalam fikih. Mereka menggunakan metode-metode tersebut kadang-kadang dengan istilah kaidah, dhabit, furuq,[23] al-ghaz,[24] muthaharahat,[25] ma’rifat al-afrad,[26] dan hiyal.[27]
            Saat hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan semakin  banyaknya persoalan hukum, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit  yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa ulama tersebut dari kesemrawutan. Paling tidak ini ditunjukkan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w. 340 H) dengan bukunya Ushul al-Karkhi dan Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H) dalam kitabnya  Ta’sis al-Nazhar dengan memakai istilah ushul.[28]
            Fuqaha  Hanafiah menjadi orang pertama yang mengkaji qawa’id fiqhiyyah dalam sejarah.[29] Hal ini karena luasnya furu’ yang mereka kembangkan. Di samping itu, dalam membentuk ushul mazhab, fuqaha Hanafiah mendasarkan pemikirannya kepada hukum furu’ para imam mazhabnya. Contohnya adalah Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) dalam kitabnya al-Ushul menyebutkan satu permasalahan, lalu darinya ia membuat banyak hukum furu’ yang sulit dihapal dan diidentifikasi. Kondisi seperti inilah yang mendorong fuqaha Hanafiah untuk membuat kaidah dan dhabit.
            Pengumpulan qawa’id fiqhiyyah dalam mazhab Hanafi dilakukan pertama kali oleh Abu Thahir al-Dabbas al-Hanafi, seorang ulama yang buta, hidup pada abad III H dan IV H. Fakta historis ini merupakan pendapat al-‘Alai (w. 761 H),[30] Imam Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H),[31] dan Ibnu Nujaim (w. 970 H).[32] Abu Thahir al-Dabbas al-Hanafi telah mengumpulkan kaidah yang paling penting dalam mazhab Hanafi ke dalam tujuh belas qa’idah kulliyah.
            Nama al-Karkhi (w. 340 H) juga tidak dapat ditinggalkan begitu saja dalam sketsa sejarah perkembangan qawa’id fiqhiyyah. Al-Karkhi yang juga merupakan teman Abu Thahir al-Dabbas , diduga mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitab yang ditulisnya yaitu Ushul al-Karkhi. Dalam kitab tersebut al-Karkhi mengumpulkan tiga puluh tujuh kaidah. Kitab ini dianggap sebagai karya utama yang mengkaji ilmu qawa’id fiqhiyyah.[33]
            Sementara itu pada abad V H, Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H) telah melakukan kajian ilmiah tentang qawa’id fiqhiyyah dan menggabungkannya dengan kaidah al-Karkhi punya, yang dapat dilihat dalam karya besarnya Ta’sis al-Nazhar. Dengan demikian, abad IV H dapat dikatakan sebagai suatu fase perkembangan dan pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah. Abad ini dipandang sebagai awal kelahiran pengkodifikasian ilmu kaidah.
            Pada abad V H tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji masalah qawa’id fiqhiyyah selain kitab Ta’sis al-Nazhar karya al-Dabbusi. Demikian pula halnya pada abad VI H tidak ditemukan secara khusus masalah qawa’id fiqhiyyah selain kitab Idhah al-Qawa’id karya ‘Alauddin Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (w. 540 H).[34] Pada abad VII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang pesat walaupun belum mencapai puncaknya. Hal ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh ulama yang berkompeten dalam ilmu ini, seperti:
a.       Muhammad bin Ibrahim al-Jajarni al-Sahlaki (w. 613 H) yang menyusun kitab al-Qawa’id fi Furu’ al-Syafi’iyah.
b.       ‘Izuddin bin “Abdissalam (w. 660 H) yang menyusun kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam dan
c.        Muhammad bin Abdillah bin Rasyid al-Bakri al-Qafshiy al-Maliki (w. 675 H) yang menyusun kitab al-Muzhab fi Dhabt Qawa’id al-Mazhab.[35]
            Pada abad VIII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah berada pada puncak keemasan yang ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Di antara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
  1. al-Asybah wa al-Nazhair karya Ibnu Wakil al-Syafi’i (w. 716 H).
  2.  Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H).
  3.  Kitab al-Majmu’ al-Muzhab fi Dhabt Qawa’id al-Mazhab karya al-‘Alai al-Syafi’i (w. 761 H).
  4.  Kitab  al-Asybah wa al-Nazhair karya al-Subki al-Syafi’i (w. 711 H).
  5.  Kitab al-Asybah wa al-Nazhair karya al-Isnawi (w. 772 H).
  6.  Kitab al-Mantsur fi al-Qawa’id karya al-Zarkasi al-Syafi’i (w. 794 H).
  7.  Kitab Qawa’id fi al-Fiqh karya Ibnu Rajab al-Hambali (w. 795 H) dan
  8.  Kitab al-Qawa’id fi al-Furu’ karya al-Ghazzi (w. 799 H).
            Sementara itu pada IX H kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah banyak yang mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah yang muncul pada abad ini diantaranya kitab al-Qawa’id  karya Ibnu al-Mulaqqin (w.804 H), kitab Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808 H) dan lain-lain.
            Pada abad X H, pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah semakin berkembang. Imam al-Suyuthi (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-Subki, dan al-Zarkasyi (w. 794 H). Beliau mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair.
            Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyah oleh komite fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XII H/1292 H).[36] Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat ini menjadi rujukan (referensi) lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
            Para fuqaha memasukkan qawa’id fiqhiyyah pada majalah ini setelah terlebih dahulu mempelajari sumber-sumber fikih dan beberapa karya tulis tentang qawa’id fiqhiyyah, seperti al-Asybah wa al-Nazhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H) dan Majami al-Haqaiq karya al-Khadimi (w. 1176 H). Komite tersebut sangat selektif dalam memilih dan memilah kaidah yang akan dimasukkan ke dalam majalah. Mereka menyusun majalah ini dengan menggunakan redaksi yang singkat padat seperti undang-undang (qanun). Eksistensi majalah dapat mengangkat kedudukan dan popularitas kaidah. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan fikih dan perundang-undangan.[37]

D.      Signifikansi Qawa’id Fiqhiyyah dalam Fatwa dan Qadha
            Sebelum lebih lanjut membahas tentang posisi qawa’id fiqhiyyah dalam fatwa dan qadha, terlebih dahulu akan disinggung  pendapat ulama tentang boleh tidaknya menjadikan qawa’id fiqhiyyah sebagai dalil dalam meng-istibath-kan hukum terhadap persoalan-persoalan yang muncul sebagai akibat dinamisitas masyarakat.
            Imam al-Haramain al-Juwayni berpendapat bahwa qawa’id fiqhiyyah boleh dijadikan sebagai dalil hukum mandiri,[38] yaitu dengan menjadikan qawa’id fiqhiyyah sebagai dalil hukum yang berdiri semdiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok, yaitu Alquran dan Sunnah. Pendapat tersebut didasarkan pada aspek penyandaran. Qawa’id fiqhiyyah merupakan jalan untuk mempermudah dalam mendalami ayat Alquran dan Sunnah.
            Oleh sebab itulah, dengan memahami dan menguasai satu kaidah berarti  telah memahami dan menguasai beberapa ayat dan Sunnah yang tercakup di dalamnya.[39] Dengan begitu bila berdalil dengan satu qawa’id fiqhiyyah berarti telah berdalil dengan beberapa ayat Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw yang tercakup dalam kaidah tersebut.
            Imam al-Hamawi menolak pendapat Imam al-Haramain al-Juwayni tersebut. Beliau mengatakan bahwa tidak boleh berdalil hanya dengan qawa’id fiqhiyyah. Al-Hamawi mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aghlabiyat atau aksariyat. Oleh sebab itu setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian (al-mustasnayat).[40] Karena memiliki pengecualian-pengecualian (al-mustasnayat) yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian itu, maka tidak menjadikan qawa’id fiqhiyyah itu sebagai dalil mandiri merupakan jalan keluar yang lebih arif dan bijak.
            Kedudukan qawa’id  fiqhiyyah dalam fatwa dan qadha,[41]dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berkedudukan sebagai dalil mandiri dan sebagai dalil pelengkap. Untuk lebih mendekatkan pemahaman tentang kedudukan qawa’id fiqhiyyah dalam fatwa dan qadha, berikut ini beberapa putusan Pengadilan Agama di Indonesia yang memakai qawa’id fiqhiyyah, baik sebagai dalil mandiri dan sebagai dalil pelengkap.
  1. Qawa’id fiqhiyyah sebagai dalil pelengkap
Keputusan Pengadilan Agama Tanjung Redep Nomor 39/1985 tanggal 7 September 1985 tentang gugatan nafkah.[42] Ayat-ayat Alquran yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan hukum oleh Pengadilan Agama Tanjung Redep adalah:
ﻟﯿﻨﻔﻖ ﺬﻮﺴﻌﺔ ﻮﻤﻦ ﻗﺩﺮ ﻋﻟﻴﻪ ﺮﺯﻘﻪ ﻔﻟﻴﻨﻔﻖ ﻤﻣﺎﺍﺗﺎﻩﺍﻟﻟﻪﻻ ﻴﻜﻟﻒ ﺍﻟﻟﻪ ﻨﻔﺴﺎ ﺇﻻ ﻤﺎ ﺍ ﺘﺎﻫﺎ  ﺴﻴﺟﻌﻞ ﺍﻟﻟﻪ ﺒﻌﺪ ﻋﺴﺮ ﻴﺴﺮﺍ ﴿ ﺍﻟﻄﻼﻖ : ۷﴾
            “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan orang yang disempitkan rizikinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang kecuali (sekadar apa yang Allah berikan kepadanya). Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”.
            Sementara dalil dari hadis yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan hukum dikutip dari kitab Subul al-Salam juz III, halaman 221, yang artinya:
            “Hendaklah engkau memberinya makan apabila engkau makan; dan memberinya pakaian apabila engkau berpakaian”.
            Adapun dalil dari qawa’id fiqhiyyah yang dijadikan sebagai pertimbangan hukum oleh hakim itu dikutip dari kitab al-Umm juz. V halaman 81 yang berbunyi sebagai berikut:
ﺇﻦﻋﻟﻰ ﺍﻷﺐ ﺃﻦ ﻴﻘﻴﻢ ﺒﺎ ﻟﻤﺅﺬﻨﺔ ﻔﻰ ﺇﺼﻼﺡ ﺻﻐﺎﺮ ﻮﻟﺪﻩ ﻤﻦ ﺮﻀﺎﻉ ﻮ ﻨﻔﻘﺔ ﻮﻜﺴﻮﺓ ﻮﺨﺪﻤﺔ
            “Ayah diwajibkan menjamin segala sesuatu untuk kemaslahatan anaknya yang masih kecil, baik dari segi penyusuannya, nafkahnya, pakaiannya, dan perawatannya”.
            Berdasarkan contoh di atas tersebut dapat dilihat bahwa dasar pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim dalam putusannya adalah Alquran dan Sunnah, sebagai dalil mandiri, semantara qawa’id fiqhiyyah yang diambil dari kitab al-Umm hanyalah sebagai dalil pelengkap.
            Kasus di atas menunjukkan bahwa Alquran dan Sunnah tetaplah sebagai dalil atau sumber utama dalam memecahkan masalah hukum yang dihadapi. Karena memang dalam kasus tersebut Alquran memberikan ruang berupa dalil yang konkrit saat terjadi masalah tentang nafkah anak saat kedua orang tuanya bercerai. Sedangkan qawq’id fiqhiyyah yang diambil dari kitab al-Umm hanyalah sebagai dalil pelengkap saja. Artinya hanya sebagai penambah dari dalil yang didapat dari Alquran dan Sunnah.
  1. Qawa’id Fiqhiyyah sebagai dalil mandiri
Dalam putusan Pengadilan Agama Samarinda Nomor 07/1986 tanggal 6 Nopember 1986 tentang gugatan nafkah, hakim menjadikan qawa’id fiqhiyyah sebagai dasar pertimbangan hukum tanpa merujuk Alquran dan Sunnah, yaitu dikutip dari kitab al-Fath al-Mu’in  dan kitab I’anat al-Thalibin.[43]
            Kaidah yang dikutip dari kitab Fath al-Mu’in adalah:
ﺇﻨﻤﺎ ﺘﺟﺐ ﺒﺎﻟﺘﻤﻜﻴﻦ ﻴﻮﻣﺎ ﻔﻴﻮﻤﺎ
            “Suami diwajibkan memberi nafkah (kepada anak dan isteri) setiap hari”.
            Sedangkan qawa’id fiqhiyyah yang diambil dari kitab I’anat al-Thalibin adalah:
ﻔﺎﻟﻨﻔﻘﺔ ﺍﻮﻟﻜﺴﻮﺓ ﻟﺟﻤﻴﻊ ﻤﺎ ﻤﺿﻲ ﻤﻦ ﺘﻟﻚ ﺍﻟﻤﺪﺓ ﺪﻴﻦ ﻟﻬﺎ ﻋﻟﻴﻪ ﻷﻨﻬﺎ ﺃﺤﻖ ﺬﻟﻚ ﻔﻲ ﺬﻤﺘﻪ
            “Nafkah atau pakaian yang belum dipenuhi adalah hutang (suami atas isterinya) karena ia (isteri) berhak atas hal tersebut karena ia berada di bawah tanggung jawab suaminya”
            Sementara dalam masalah fatwa sebenarnya tidak berbeda esensinya dengan qadha, karena yang membedakan keduanya hanya dalam masalah keberlakuan dan kewajiban untuk melaksanakan putusan tersebut. Misalnya dalam masalah pengharaman rokok yang menjadi kontroversi beberapa waktu yang lalu. Pengharaman rokok yang dikeluarkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah yang lalu menimbulkan debat terbuka yang tidak pernah ketemu jalan tengahnya. Begitu juga dengan fatwa MUI yang mengharamkan rokok bagi anak-anak, wanita hamil serta larangan merokok di ruang publik.
            Paling tidak dalam fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tersebut ada dua dalil yang diajukan. Pertama Alquran yaitu surat al-A’raf ayat 157, surat al-Isra’ ayat 26-27, hadis Rasulullah saw yang menyatakan tidak boleh membuat mudharat kepada diri sendiri dan tidak boleh membuat mudarat kepada orang lain. Dalil kedua adalah kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: “Yang menimbulkan mudarat harus dihilangkan/dihindarkan” dan “Penetapan hukum itu tergantung pada ada atau tidak adanya illat.”
            Dalam kajian ilmu fikih, hukum merokok masuk ke dalam masalah ijtihad yang berarti pada masa Rasulullah masih hidup, merokok barang kali belum populer di kalangan bangsa Arab, hingga tidak ada penetapan hukum dalam masalah itu. Karena persoalannya adalah masalah ijtihady maka tidak terlalu mengejutkan jika terjadi ikhtilaf di kalangan ulama. Karena tidak terdapat dalam sumber utama yaitu Alquran dan Sunnah, maka yang diambil adalah nilai, norma atau ruh syariat. Ruh syariat itulah yang kemudian diambil oleh ulama dalam memutuskan hukum merokok. Syariat menetapkan bahwa sesuatu yang membawa mudharat kepada manusia harus dihindarkan. Hal ini sesuai dengan bunyi kaidah fiqhiyyah yang ada yaitu: “Yang menimbulkan mudharat harus dihilangkan/dihindarkan”.
            Merokok dalam pandangan para ulama menimbulkan efek negatif tidak hanya bagi perokok tapi juga orang yang tidak merokok (perokok pasif). Efek negatif itu tidak hanya dari sisi medis atau kesehatan, tapi juga dari sisi ekonomi dan juga pencemaran lingkungan.
            Mengenai berbagai kontroversi keharaman merokok itu, biarlah hal itu dikembalikan kepada masyarakat sendiri. Toh fatwa sifatnya tidak mengikat bagi siapa pun, dan tidak wajib untuk diikuti.
E.       Penutup
            Qawa’id fiqhiyyah sebenarnya merupakan hasil analisis induktif (istiqra’) dengan memerhatikan faktor-faktor kesamaan (al-asybah) dari berbagai macam topik fikih yang kemudian disimpulkan menjadi kaidah umum. Pada intinya qawa’id fiqhiyyah merupakan jalan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Posisi qawa’id fiqhiyyah dalam fatwa dan qadha dapat dijadikan sebagai dalil pelengkap dari dua dalil yaitu Alquran dan Sunnah atau bahkan sebagai dalil yang mandiri (mustaqil) tanpa dua dalil utama itu, walau para ulama ikhtilaf dalam hal ini.
            Walaupun terjadi kontroversi di kalangan ulama tentang boleh tidaknya berdalil kepada qawa’id fiqhiyyah, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa qawa’id fiqhiyyah berperan besar dalam membantu fuqaha, mufti dan qadhi  dalam menyelesaikan persoalan hukum di masyarakat.






           



Daftar Pustaka
A.      Djazuli, 2002, Signifikansi Kaidah Fikih, dalam Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Abdul Mudjib, 2001, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta.

Abu Zahrah, Muhammad, 1985, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Beirut.

Abuddin Nata et.al., 1999, Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid I.,  Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.

Ade Dedi Rohayana, 2008, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta.

Ahmad al-Nadwi, Ali, 1994, al-Qawa’id al-Fiqhiyyat: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha, Dirasat al-Mu’allafatuha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, Dar al-Qalam, Damaskus.

Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, Cet. Ke-3.

Al-‘Alai, tt., al-Majmu’ al-Muzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Maktabah Mudiriyah al-Auqaf al-‘Ammah.

al-Din al-Suyuthi, Jalal, tt., al-Asybah wal- Nazhair, Mathba’ah Toha Putra, Semarang, tt.

al-Harnawi, 1378 H, Ghumzu ‘Uyun al-Bashair Syarh al-Asybah wa al-Nazhair, Juz.I., Dar al-Thaba’ah al-‘Amirah, Kairo.

Al-Qurafi, tt., al-Furuq, ‘Alam al-Kutub, Beirut.

Anonimous, 1992, Yurisprudensi Badan Pengadilan Agama, Direktorat Badan Peradilan Agama Departemen Agama RI, Jakarta.

Asjmuni A. Rahman, 1976, Kaidah-Kaidah Fiqih (Qawaidul Fiqhiyyah), Bulan Bintang, Jakarta.

Fathurrahman Djamil, 1999, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta.

Hasbi Ash-Shiddieqy,1975, Pengantar Hukum Islam I, Bulan Bintang, Jakarta.

Jaih Mubarok, 2002, Kaidah Fiqh, Sejarah Dan Kaidah Asasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Juhaya S. Praja, 2000, “Dinamika Pemikiran Hukum Islam” (Pengantar) dalam Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Rosdakarya, Bandung.

Khaldun, Ibnu, tt., Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut, tt., hal. 449.

M. Ali Haidar, 1994, Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mohammad Daud Ali, 2000, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muhammad Izz al-Din ‘Abd al-Aziz ibn ‘Abd al-Salam, Abu, tt., Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I., Mustafa Muhammad, ttp.

Muslehuddin, Muhammad, tt., Philosophy of Islamic Law and The Orientalist, Islamic Publication L.T.D, Shah Alam Market, Lahore.

Nujaim, Ibnu , 1983, al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Fikr, Damaskus.

Rachmat Djatnika, 1990, “Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia” dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Rosdakarya, Bandung.

Schacht, Joseph, 1985, Pengantar Hukum Islam, Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Jakarta.



            [1]Rachmat Djatnika, “Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia” dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Rosdakarya, Bandung, 1990, hal. 240.
                [2]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 38.
                [3] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1999, hal.1. Lebih lanjut dalam buku  yang sama beliau menjelaskan tentang hukum Islam dari literatur Barat ditemukan definisi “keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Berdasarkan definisi ini arti hukum Islam lebih dekat dengan syari’at. Lihat juga Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 1985, hal. 1. Dalam buku  tersebut dituliskan bahwa hukum Islam adalah lambang  pemikiran Islam, manifestasi paling khusus dari pandangan hidup Islam, inti dan titik sentral dari Islam itu sendiri. Bandingkan dengan Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist, Islamic Publication L.T.D, Shah Alam Market, Lahore, tt., hal. 55. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa hukum Islam itu identik dengan syari’at itu sendiri.
            [4]Juhaya S. Praja, “Dinamika Pemikiran Hukum Islam” (Pengantar) dalam Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Rosdakarya, Bandung, 2000, hal. vii.
                [5]M. Ali Haidar, Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal. 9.
                [6]A. Djazuli, Signifikansi Kaidah Fikih, dalam Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. VII-VIII.
                [7]Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Arabi, Beirut, 1985, hal. 10-11.
                [8]Abuddin Nata et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid I.,  Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1999, hal. 304.
                [9] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, Sejarah Dan Kaidah Asasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 3.
                [10]Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta, 2001, hal. 4.
                [11]Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal. 132.
                [12]Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyyat: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha, Dirasat al-Mu’allafatuha, Adillatuha, Muhimmatuha, Tathbiqatuha, Dar al-Qalam, Damaskus, 1994, hal. 43.         
                [13]Abu Muhammad Izz al-Din ‘Abd al-Aziz ibn ‘Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I., Mustafa Muhammad, ttp., tt., hal. 9. Lihat juga Asjmuni A. Rahman, Kaidah-Kaidah Fiqih (Qawaidul Fiqhiyyah), Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hal. 17 .
                [14]Al-Qurafi, al-Furuq, ‘Alam al-Kutub, Beirut, tt., hal. 3. Lihat juga Asjmuni A. Rahman, op.cit., hal. 18.
                [15]Ahmad Kamil, M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, 2008, Cet. Ke-3, hal. 1.
                [16]Jaih Mubarok, op.cit., hal. 27.
                [17]A. Djazuli, op.cit., hal. XI.
                [18]Ali Ahmad al-Nadwi, op.cit., hal. 327.
                [19]Jaih Mubarok, op.cit., hal. 43.
            [20]Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2008, hal. 48.
                [21]Ibid., hal. 59.
                [22]Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Dar al-Fikr, Beirut, tt., hal. 449.
            [23]Al-Furuq adalah masalah-masalah fikih yang tampak sama dan mempunyai satu hukum, tetapi sebenarnya berbeda dan mempunyai hukum yang berbeda pula. Lihat Ali al-Nadwi, op.cit., 134.
                [24]Al-Ghaz adalah masalah-masalah yang hukumnya sengaja disembunyikan dengan tujuan untuk menguji (seperti teka-teki) Lihat al-Harnawi, Ghumzu ‘Uyun al-Bashair Syarh al-Asybah wa al-Nazhair, Juz.I., Dar al-Thaba’ah al-‘Amirah, Kairo, 1378 H, hal. 17-18.
                [25]Al-Muthaharat adalah masalah-masalah yang sulit dipahami dengan tujuan untuk melatih berpikir. Ali al-Nadwi, loc.cit.
                [26]Ma’rifat al-Afrad  adalah mengetahui perkara-perkara yang sulit dari setiap mazhab. Ibid.
                [27]Hiyal adalah sebuah kemudahan yang dapat menolak sesuatu yang tidak disenangi, dan dapat menarik kemaslahatan.
            [28]Ade Dedi Rohayana, op.cit., hal. 60.
                [29]Ibid.
            [30]Al-‘Alai, al-Majmu’ al-Muzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Maktabah Mudiriyah al-Auqaf al-‘Ammah, tt., No. 4168.
                [31]Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Asybah wal- Nazhair, Mathba’ah Toha Putra, Semarang, tt., hal. 17.
            [32]Ibnu Nujaim, al-Asybah wa al-Nazhair, Dar al-Fikr, Damaskus, 1983, hal. 10-11.
                [33]Ade Dedi Rohayana, op.cit., hal. 61.
                [34]Ibid.
                [35] Ibid., hal. 62.
                [36]Ibid., hal. 64.
                [37]Ali al-Nadwi, op.cit., hal. 136-141 dan 156.
                [38]Ibid., hal. 329.
                [39]Jaih Mubarok, op.cit., hal. 35.
                [40]Ali Ahmad al-Nadwi, loc.cit.
                [41]Salah satu perbedaan mendasar antara fatwa dan qadha adalah bahwa putusan hakim berlaku untuk penggugat dan tergugat. Sedangkan fatwa putusannya boleh diterima, boleh tidak. Kemudian putusan hakim dapat membatalkan fatwa mufti, sedangkan fatwa mufti tidak dapat membatalkan putusan hakim. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hal. 184.
                [42]Anonimous, Yurisprudensi Badan Pengadilan Agama, Direktorat Badan Peradilan Agama Departemen Agama RI, Jakarta, 1992, hal. 191-194.
                [43]Ibid, hal. 210.

1 komentar: